Minggu, 27 November 2022

Mencoba Pixel Art: Aplikasi yang Dapat Digunakan

Contoh Pixel Art

Bagi yang belum mengetahui apa itu "Pixel Art", silakan melakukan pencarian gambar di Google. Anda akan melihat banyak contoh karya para pixel artist (sebutan bagi seniman pixel art). Gambar-gambar berbasis titik, dot, atau pixel itu tampak seperti gambar jadul atau retro, kan? Mirip gaya (style) gambar yang dapat kita temui pada game console lawas buatan Nintendo, seperti NES dan Game Boy.

Selain karena feel nostalgia yang ditawarkan, pixel art banyak dipilih karena mudah digambar dan dibuat. Pixel art juga membutuhkan memori penyimpanan sangat kecil, dibandingkan dengan karya berbasis vector ataupun aset-aset 3D. Keunggulan-keunggulan lain dari jenis seni ini dapat dibaca pada tulisan saya sebelumnya, tentang alasan mengapa pilih pixel art.

Lalu berkaitan dengan pixel art, sebenarnya tujuan awal blog ini dibuat guna menyediakan tutorial-tutorial berkualitas dalam pembuatan pixel art, khususnya yang berbahasa indonesia. 

Saat pertama kali mempelajari seni ini, saya hampir tidak menemukan situs berbahasa indonesia yang benar-benar bagus dalam pembahasan pixel art. Kebanyakan situs yang saya baca berbahasa inggris. Padahal akan menjadi sangat baik apabila ada juga tutorial berbahasa indonesia, yang bisa dibaca oleh orang-orang indonesia yang mulai tertarik pada pixel art. Sehingga banyak anak bangsa yang dapat menjadi ahli dalam cabang seni yang potensial ini. Seperti pemanfaatan dalam industri kreatif, contohnya dalam pembuatan video games.

Maka, untuk memulainya, saya ingin menulis kembali tema pixel art pada blog ini. Pixel art yang telah menjadi fokus seni dan spesialisasi saya. Kali ini akan dibagikan aplikasi-aplikasi yang pernah saya gunakan untuk menggambar pixel art.

Aplikasi yang pernah saya pakai bisa dibilang tidak terlalu beragam. Mengapa? Pertama karena saya masih belum mempelajari animasi, hanya murni gambar (diam/tidak bergerak). Sehingga tidak membutuhkan aplikasi pembuatan animasi atau kartun. Kedua, disebabkan aplikasi itu tak ada bedanya dengan alat lukis, cocok-cocokan. Ketika akhirnya menemukan aplikasi atau software GIMP 2.0, saya langsung merasa cocok, sehingga tidak lagi mencoba eksplorasi aplikasi yang lain. 

Namun, sebelum menemukan GIMP 2.0, saya sudah mencoba beberapa aplikasi. Tulisan ini memuat aplikasi-aplikasi apa saja yang pernah saya pakai dan beberapa tips untuk dipraktekkan.

1. Ms Paint

Ms Paint Pixel Art


Aplikasi pertama adalah aplikasi yang pasti pernah dipakai oleh semua pengguna sistem operasi (operating system/OS) Windows, yaitu Ms Paint. Aplikasi bawaan dari OS sejuta umat ini tentunya sering kita pakai untuk menggambar. Saya pun ketika awal-awal mempunyai personal computer juga sangat senang bermain-main dengan Ms Paint. 

Tahukah Anda kalau aplikasi ini merupakan aplikasi yang sangat pixel art? Maksudnya, tools yang ada pada Ms Paint dan cara kita menggambar di aplikasi itu berbasis pixel atau dot dan bukan vector. Perbedaan mendasar dari software menggambar berbasis pixel dan vector, yaitu ketika gambar di-zoom in sampai besar, gambar pixel akan terlihat pecah, berbeda dengan vector yang akan menyesuaikan, sehingga tetap halus

Keunggulan: Ms Paint sangat simple. Sehingga kita dapat langsung menggambar pixel art menggunakan tools yang ada pada Ms Paint.

Kekurangan: Ms Paint terlalu simple. Aplikasi ini tidak cocok apabila kita ingin menjadi pixel artist profesional, karena pilihan warna yang ada pada palette color sangat terbatas. Warna adalah komponen yang amat sangat penting dalam pixel art.

Pro tips: Gunakan layer/image berukuran 100 x 100px dan Pencil tools (ukuran 1px) serta zoom in-zoom out akan sangat membantu.

2. Ms Excel

Ms Excel Pixel Art

Selain sebagai alat hitung (formula), tabel, akuntansi, dan pengolahan data lainnya, ternyata Ms Excel juga bermanfaat sebagai alat gambar pixel art. Bagaimana bisa? Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa pixel art merupakan seni yang berbasis titik atau dot (pixel), yang mana komponen ini juga dapat ditemukan pada Ms Excel, yang juga menjadi komponen utama dari aplikasi itu. Tentunya komponen yang dimaksud adalah cell (sel). Cell, irisan dari row (baris) dan column (kolom) dapat diwarnai (diganti warna) dengan mudah. Dengan begitu, aplikasi Ms Excel otomatis juga bisa menghasilkan karya pixel art yang unik.

Keunggulan: Unik dan out of the box. Teman-teman Anda pasti merasa heran ketika melihat Anda menggunakan Ms Excel untuk menggambar.

Kekurangan: Tools yang dapat digunakan hanyalah pewarnaan cells, fitur copy, dan paste.

Pro tips: Ukuran cell (row & column) di-setting 15x2 supaya berbentuk bujur sangkar (pixel). Ini akan memudahkan kita dalam menggambar.

3. Adobe Photoshop

Aplikasi selanjutnya adalah Adobe Photoshop. Saya memakai aplikasi ini ketika awal-awal belajar, setelah melihat tutorial-tutorial yang ada di internet. Adobe Photoshop memiliki banyak fitur yang dapat digunakan, mulai dari layering sampai tools yang beragam, dan lainnya. Tidak heran karena aplikasi ini sejatinya 'berbayar'. Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan penggunaan software bajakan itu tidak baik, saya akhirnya berhenti memakainya. Aplikasi tidak berbayar alias open source yang selevel dengan Photoshop adalah GIMP 2.0. Saya akan menjelaskannya pada daftar nomor 4.

Keunggulan: Memiliki banyak fitur untuk menggambar pixel art dengan mudah dan efisien dan efektif.

Kekurangan: Berbayar dan tidak gratis.

Pro tips: Gunakan aplikasi GIMP 2.0 kalau tidak memiliki modal. Toh fitur-fiturnya banyak yang mirip.

4. GIMP 2.0

GIMP 2.0 Pixel Art


GIMP 2.0 merupakan salah satu aplikasi produktif favorit saya, selain Inkscape (tentunya). Seperti yang telah disinggung di atas, GIMP 2.0 memiliki fitur-fitur yang mirip dengan Adobe Photoshop. Bahkan mungkin lebih beragam, karena aplikasi ini open source yang dikembangkan oleh komunitas. Bagi saya, GIMP 2.0 sudah sangat "pro" dalam pembuatan pixel art. Ia memiliki layering, pilihan warna (palette) yang beragam, tools yang dapat digunakan untuk mempercepat produksi, dan lainnya. 

Para pembaca tentu akan jatuh cinta dengan aplikasi ini. Saya sendiri telah banyak menelurkan karya pixel art melalui GIMP 2.0. Apalagi aplikasi ini  gratis sehingga kita semakin PD untuk terus menggambar dan mengomersialkan karya yang dibuat.

Keunggulan: Gratis dan mirip dengan Adobe Photoshop. Sangat cocok sebagai aplikasi pembuatan pixel art.

Kekurangan: Karena aplikasi ini open source (kalau tidak salah berbasis pemrograman python) kadang kala beberapa fitur gagal dimuat (load). Tetapi sangat-sangat jarang terjadi (rarely).

Pro tips: 

  • Sewaktu menggambar, gunakan image size yang kecil (contoh 100 x 100px) sehingga Pencil Tools dapat berukuran 1px dengan mode Hardness
  • Saat dirasa karya sudah final, ubah ukuran image menjadi lebih besar menggunakan fitur Scale Image dengan Interpolation: None, sebelum di-export dalam format gambar (PNG/JPEG). 
  • Selain itu, gunakan settingan HSV (Hue, Saturation, Value) dalam memilih warna saat menggambar. 

5. Pix2d (versi Lite)

Pix2d Pixel Art

Aplikasi terakhir yang saya gunakan (sampai saat ini) untuk menggambar pixel art adalah Pix2d yang versi Lite. Aplikasi ini dapat ditemukan di Microsoft Store. Berbeda dengan aplikasi-aplikasi sebelumnya, Pix2d merupakan aplikasi khusus diperuntukkan bagi pixel artist. Tools yang ada pada versi lite, seperti Brush, Eraser, dan Fill, dirancang untuk memudahkan kita dalam menggambar seni retro ini. Semuanya sangat sederhana. Saya pun begitu menyukai Pix2d selain GIMP 2.0. Apabila sedang memiliki ide pixel art yang sederhana dan sekadar ingin doodling, saya akan memilih Pix2d alih-alih GIMP 2.0.

Keunggulan: Sederhana dan tools yang disiapkan untuk membuat karya pixel art. Saya menemukan teknik yang lebih cepat dalam menggambar dikarenakan aplikasi Pix2d ini.

Kekurangan: Versi lite dari Pix2d akan memunculkan watermark, sehingga untuk menghilangkannya kita harus membeli lisensi Pro atau berlangganan lisensi Ultimate.

Pro tips: Manfaatkan aplikasi Snipping Tools dan Ms Paint untuk menyimpan karya tanpa watermark.

Itulah 5 aplikasi yang dapat kita pakai untuk menggambar pixel art, tentunya masih banyak aplikasi lainnya. Bahkan sekarang sudah menjamur aplikasi pembuatan pixel art berbasis online (website) dan mobile di smartphone. Sehingga kita bisa berkarya tanpa ada batasan.

Semoga dengan sedikit tips ini, Rekan-rekan dapat terinspirasi untuk berkarya dengan pixel art. Apalagi berkesempatan membuat karya yang bertema dakwah, edukasi, sosial, dan lainnya yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa serta agama. Aamiin. Bismillah.

Senin, 21 November 2022

Apa yang Kami Pelajari dari Hackathon?


Pada 1415 November 2022, saya, Syamsul, dan Windy (SSW Developer), berkesempatan lagi untuk mengikuti kegiatan hackthon. Kegiatan yang sama seperti yang kami ikuti pada 2019. (Baca kisah selengkapnya dan penjelasan singkat mengenai hackathon di tulisan Mengedepankan Chatbot

Persis seperti 3 tahun yang lalu, hackathon kali ini pun menjadi momen berkumpul dan reuni. "Sobat hackthon", itulah kami, yang hanya bisa bertemu di acara hackthon. Kami juga berniat mengikuti kegiatan serupa di kesempatan-kesempatan berikutnya, baik nasional maupun internasional. Ya semoga terlaksana, aamiin.

Di kegiatan hackathon tersebut kami memilih tema metaverse, tema yang sedari awal menumbuhkan rasa percaya diri akan lolos ke babak 20 besar di Surabaya. Karena tema yang (pasti) jarang dilirik oleh calon peserta yang lain. Seperti yang saya sampaikan kepada tim, metaverse adalah tema yang akan stand-out, tidak mungkin diabaikan oleh panitia dan tim penilai. Dan akhirnya dengan tema tersebut dan judul ide yang diusung, Alhamdulillah, kami dapat masuk ke  babak 10 besar dan meraih juara best metaverse

Saya pribadi tidak berekspektasi akan mendapatkan rezeki sebesar itu. Berhasil lolos mengikuti hackathon saja sudah sangat bersyukur, karena tujuan awal untuk menantang diri sendiri. Apalagi dengan mengikuti kegiatan ngoding 24 jam, saya yakin pasti akan meraih banyak hikmah dan pelajaran, yang nantinya bisa berguna di dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. 

Lalu, apa saja pelajaran yang didapatkan setelah mengikuti dua kali hackathon? Berikut catatan kami, tentu tidak ada niatan untuk menggurui, tetapi hanya ingin menerapkan pepatah, ilmu akan abadi jika diikat dengan tulisan.

Out of the box

Istilah out of the box mungkin menjadi sangat spektakuler untuk digunakan, tapi mau bagaimana lagi memang itulah yang kami lakukan. Ide yang diajukan pada acara hackathon bukan dari pekerjaan sehari-hari. Bukan pula berangkat dari permasalahan yang dihadapi. Saya di Jakarta, Windy di Cilacap, Syamsul di Lampung. Kami bertiga tidak pernah bersentuhan dengan metaverse atau virtual reality di dalam pekerjaan. Ide itu murni dipilih karena kebutuhan akan sesuatu yang unik, yang dapat mengumpulkan kami di Surabaya. Dan memang benar, terkadang, opsi-opsi yang tidak pernah kita pikirkan itulah yang harus dipilih.

Catat dengan kertas

Setelah pengumuman 20 tim yang lolos ke Surabaya, saya langsung menyiapkan strategi mulai dari produk yang akan dibuat sampai ke bagaimana teknik presentasi kami nanti. Semua itu tercatat manual pada buku catatan biru saya. Meskipun ujung-ujungnya catatan itu akan dipindahkan ke dalam aplikasi notes di laptop, tetapi mencatat terlebih dahulu di buku adalah pilihan yang tepat. Kami bisa mencoret-coret, menuliskan catatan-catatan kecil, membuat lingkaran, centang, dan notasi lainnya secara realtime saat melakukan diskusi. Buku catatan biru itu pun menjadi semacam dokumentasi dan to-do list sebagai guidance pelaksanaan hackathon.

Well-prepared tidak pernah mengecewakan

Kegiatan hackathon seakan-akan menjadikan saya orang yang sangat berambisi, padahal sebenarnya tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap hasil yang akan diperoleh. Kami hanya ingin menyiapkan segala sesuatunya dengan maksimal. Dengan tujuan dapat menyelesaikan prototype ide yang diajukan.

Selain itu, hal yang membuat bangga ialah video ide yang kami kirimkan. Terima kasih kepada Windy yang sudah memberikan ide dasar dari videonya. Sehingga video yang dibuat tidak kaleng-kaleng, konsepnya sangat baik, dengan storyline dan caption yang memuaskan. Saya dan Windy beberapa hari bergadang untuk menyelesaikan video tersebut. Dan akhirnya persiapan yang baik itu tidak mengecewakan kami.

Belajar mendengarkan

Tidaklah mudah untuk menggabungkan tiga kepala (apalagi jika lebih dari tiga). Maka itulah, saat mengikuti hackathon kami belajar untuk saling mendengarkan, menerima dan memberikan feedback. Tujuannya mendapatkan yang terbaik yang dapat diraih. Sehingga tidak masalah satu atau dua gagasan dan saran tidak diterima secara mufakat. Lebih baik kalah dalam latihan daripada kalah perang. 

Dua 'pendengaran' yang berkesan bagi, yang akhirnya memberikan hasil memuaskan, yaitu pertama: ketika mendengarkan keragu-raguan dari Syamsul terhadap ide awal hackathon kami, yang mengharuskan perombakan total ide yang diusung. 

Kedua: keragu-raguan Syamsul saat kami berlatih presentasi, yang membuat saya menyarankan metode presentasi yang baru, meskipun akhirnya saya sendiri yang harus mempresentasikan produk metaverse itu.


Harus menyiapkan Plan A Plan B

Setelah berhasil berlapang dada dengan saling memahami ide dan gagasan satu sama lain, selanjutnya kami harus menyiapkan banyak rencana (plan). Minimal plan A dan plan B. Saat hackathon, terdapat banyak variable yang ditemui yang akan menentukan hasil akhir. 

Mulai dari teknis dan non teknis, dari teknologi dan orang-orang yang berkecimpung di sana, dari masalah jiwa dan raga, dan banyak sekali. Semua variable itu harus menjadi pertimbangan dalam menentukan semua plan. Semua risiko juga harus dimitigasi. Tentu saja ini akan related dengan pekerjaan kita sehari-hari. Membuat banyak plan dan memitigasi risiko atas apa yang kita lakukan tidak pernah menjadi hal yang sia-sia.

Jangan memotong apel dengan pedang samurai

Teknologi semakin maju dan canggih, tapi apakah semuanya akan cocok dengan kebutuhan kita? Tentu tidak. Hal itu pun yang sebenarnya kami sadari ketika membawa teknologi metaverse atau virtual reality (VR). 

Pada sesi penjurian 10 besar, kecemasan kami menjadi kenyataan, salah satu juri menanyakan urgensitas teknologi VR untuk dapat digunakan bagi perusahaan. Karena melihat dari tren Meta yang sepertinya gagal untuk membangkitkan metaverse, tentu banyak orang yang meragukan dan bertanya-tanya usecase apa yang benar-benar cocok dengan implementasi teknologi VR tersebut. Usecase yang dapat memberikan value added bagi perusahaan. 

Saat penjurian 10 besar itu kami dapat menjawab pertanyaan dari juri, tapi jawaban yang benar-benar membuat kami puas baru terpikir malam harinya. Jawabannya disiapkan untuk penjurian 5 besar. Tetapi tidak berkesempatan untuk memberikan jawaban itu, sebab kami tidak lolos ke tahap selanjutnya.

Harus ada yang membuka peluang sebanyak mungkin

Jawaban dari urgensitas teknologi VR itu saya sampaikan ke tim saat kami sarapan pagi. Kurang lebih seperti ini: mungkin saat ini kita masih belum mendapatkan usecase yang cocok bagi perusahaan, tapi siapa tahu ide itu akan muncul di Manggis, di Ulubelu, di Sabang, di daerah-daerah lain. Hal terpenting adalah menyiapkan platform bagi para pekerja perusahaan untuk dapat membuka wawasan dan meningkatkan skill dalam membuat aset-aset 3D. 

Itulah tujuan dari ide yang kami usung. Bukannya memberikan ikan, tapi kami menyediakan alat pancing. Sama seperti kegiatan hackathon dan ajang inovasi lainnya, peluang-peluang ide dan improvement itu harus dibuka sebanyak-banyaknya.

Sampaikan apa yang harus disampaikan

Dan jangan menyampaikan apa yang tidak harus disampaikan. Di dalam kegiatan presentasi hackathon atau bahkan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari juri atau siapapun, kami harus pintar-pintar memilah informasi apa saja yang 'resmi' untuk disampaikan. Teknologi apa yang digunakan. Fitur-fitur apa yang dibangun. Dan sebagainya. 

Tentu kami tidak ingin mendapatkan bola panas alias blunder, apabila sampai salah menginformasikan tentang ide atau produk yang dibuat. Pada saat menulis catatan ini pun saya harus memilih mana yang harus ditulis dan mana yang hanya akan menjadi catatan (dan kenangan) pribadi kami. Hehehe.

Jangan lupa jaga kesehatan

Walau format hackathon tahun ini berbeda dengan tahun 2019, yang mana kami mendapatkan waktu untuk istirahat selama lebih dari 6 jam, tetapi kesehatan merupakan hal yang tetap perlu dijaga. Kami bersyukur panitia menyiapkan dan memberikan banyak suplemen, obat, dan apa-apa yang dibutuhkan supaya tetap sehat. 

Karena bagaimanapun hebatnya kita dalam memprogram produk kita, kalau tubuh tidak bisa diajak kerjasama, otak sudah tidak mau diajak berpikir, semuanya akan membuat kita jalan di tempat, bahkan ambruk di tengah jalan. Maka dari itu, pesan saya kepada tim jauh-jauh hari sebelum hari H adalah tolong jaga kondisi.

Yakinlah

Dan berdoa. Berdoa ketika akan mengikuti hackathon, penjurian 20 besar, dan 10 besar adalah doa sebelum belajar. Rodhitu billahirobba, wabil islaamidina, wabi-muhammadin nabiyyaw warosula. Robbi zidnii 'ilmaa warzuqnii fahmaa. Aku rida Allah Subhanahuwataala sebagai Rabb-ku, Islam sebagai din-ku, dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul. Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu dan berikanlah aku pengertian yang baik. Dengan doa tersebut saya bisa merasa yakin atas bimbingan Allah Subhanahuwataala. Dan sebagai pengingat bahwa doa itu juga dapat digunakan di pekerjaan sehari-hari.

Baiklah. Itulah beberapa hikmah dan pelajaran yang dapat kami temukan, tentu saja hanya sedikit dari banyak Hikmah yang digelar oleh Allah Subhanahuwataala. Kealpaan dan kelemahan kami dalam menangkap hikmah-hikmah tersebut yang menyebabkan semuanya tidak mungkin tercatat pada tulisan ini. Beberapa mungkin akan kami temui dan dapatkan setelah beberapa hari, minggu, bulan, tahun dari waktu hackathon ini. Insya Allah.

Note: Terima kasih untuk semua panitia, juri, dan orang-orang yang berkaitan dengan hackathon atas kesempatan yang kami dapatkan. x

Minggu, 20 November 2022

Pulang Lebih Cepat Karena Robot

Robot


"Engkau tahu aku mulai bosan
Bercumbu dengan bayang-bayang
Bantulah aku temukan diri
Menyambut pagi membuang sepi"

Lagu Ebiet G. Ade, "Elegi Esok Pagi" lembut mengalun via penyuara telinga, menemani perjalanan saya menuju Jakarta. Di dalam kereta api itu, dengan memakai jaket RPA Citizen Developer, saya coba mengingat-ingat materi pelatihan yang sebelumnya saya ikuti di salah satu hotel di Bandung. Yaitu materi tentang Robotic Process Automation (RPA). 

Apa itu RPA? Kalau kita mengacu kepada definisi UiPath, Robotic Process Automation (RPA) is a software technology that makes it easy to build, deploy, and manage software robots that emulate humans actions interacting with digital systems and software. RPA adalah teknologi perangkat lunak yang memudahkan kita untuk membangun dan mengelola robot yang meniru pekerjaan manusia. UiPath adalah salah satu contoh dari produk RPA, selain itu juga ada Ms Power Automate, Blue Prism, Mulesoft, dan banyak lagi.

Selama 3 hari, saya bersama peserta pelatihan yang lain berkesempatan untuk belajar membuat 'robot'. Robot yang dapat memproses pekerjaan di laptop/PC secara otomatis berdasarkan beberapa rules (aturan) yang sudah dibuat. Robot yang diklaim dapat menyelesaikan pekerjaan rutin, repeatable, dan defined (dapat didefinisikan, alur yang tidak terlalu kompleks) dengan mudah sehingga nantinya kita dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang lebih strategis. Dengan begitu, akan tercipta efisiensi biaya, syukur-syukur terwujud revenue growth. Benar, ujung-ujungnya duit.

Saya tidak ingin kontra dengan pandangan bisnis semacam itu (kalau tidak mau menggunakan kata 'kapitalistik') tetapi rasa-rasanya kalau memanfaatkan RPA hanya untuk tujuan cost efficiency, cost avoidance, revenue growth itu terlalu umum, terlalu biasa, mediocre. Maksudnya, setelah kita punya robot yang dapat menyelesaikan pekerjaan rutin sehari-hari, kita seharusnya dapat mulai berfokus pada tujuan yang lebih besar, lebih tinggi (higher purpose). Misalnya melakukan kampanye kesehatan mental, nguri-uri budaya, melestarikan alam & lingkungan, menyatukan 2 keluarga yang berkonflik, mencari pasangan hidup, dan lainnya, tak terbatas.

"Selama musim belum bergulir
Masih ada waktu saling membuka diri
Sejauh batas pengertian
Pintu pun tersibak
Cinta mengalir sebening embun"

Musik pun berganti ke lagu "Cinta Sebening Embun". Saya memang selalu memutar playlist lagu-lagu Ebiet G. Ade sewaktu naik kereta, rasanya sangat syahdu, apalagi dengan melamun memandangi pemandangan. Pohon-pohon, sungai, sawah, bukit itu terkadang bisa memberikan kita banyak inspirasi. Dalam kasus saya waktu itu, munculah ide untuk menuangkan gagasan RPA melalui tulisan yang sedang Anda baca saat ini. Sebetulnya saya ingin menuliskan judul "RPA Rapapa (tidak apa-apa)", mencoba membandingkan manusia dengan robot (RPA). Namun, itu pun bisa dimasukkan ke dalam sub tema pada tulisan ini. Apa maksud dari RPA Rapapa, pembandingan antara manusia dengan robot?

Sebelum mengikuti pelatihan, kami diminta untuk menyiapkan ide dan flow dari robot yang akan dibuat. Flow yang berisi rules aktivitas, yang dibedakan menjadi dua: Human Path dan Robot Path. Human Path merupakan alur aktivitas yang biasa dikerjakan oleh manusia, mulai dari awal pekerjaan sampai menghasilkan output (keluaran) yang diharapkan. Sedangkan Robot Path, mirip dengan Human Path, tetapi memiliki alur aktivitas yang lebih terperinci, kalau bisa diperinci per klik mouse, per masukan teks, per penandaan (indicate) situs. Intinya alur pada Robot Path harus dibuat sedetail mungkin. Karena Robot Path inilah yang akan dikonversi menjadi rules yang akan dikerjakan oleh RPA. Rules juga dapat berbentuk conditional (if-else atau switch-case) dan iteration (looping). Orang yang pernah belajar pemrograman tentu akan merasa mudah dalam membangun RPA ini.

Membuat Human Path dan Robot Path, apalagi setelah berhasil membuat RPA, rasa-rasanya melihat robot-robot itu seperti bersiap untuk menggantikan peran manusia. Pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh satu-dua orang selama seharian (atau bahkan lebih lama lagi), tiba-tiba dapat dikerjakan sekejap, secara lebih cepat dan singkat oleh satu robot. Tentu saja kondisi ini akan menjadi sebuah ancaman, bagi kita yang tidak mau meng-upgrade diri, tidak mau menambah skill

Kita yang hanya melakukan pekerjaan itu-itu saja, yang diulang-ulang sampai di luar kepala, otomatis, mungkin perlu bersiap-siap untuk dieliminasi. Namun, bagi siapa pun yang sudah melihat tanda-tanda invasi robot, dengan keluar dari zona nyaman, ia bahkan akan dapat bekerja sama dengan robot-robot itu. Belajar teknologi baru, memiliki automation mindset, efficiency oriented, dan belajar pola-pola robot, tentu akan menjadi sahabat para robot (RPA). Atau seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kita bisa mulai untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan tujuan lebih besar (mulia). Dan inilah yang saya maksud dengan RPA Rapapa, nggak apa-apa ada RPA, toh kita masih tetap akan eksis.

"Kapan lagi kita akan bertemu?
Meski hanya sekilas kau tersenyum
Kapan lagi kita nyanyi bersama?
Tatapanmu membasuh luka"

Saya tersenyum ketika lagu "Nyanyian Rindu" dimainkan. Bukan karena liriknya, yang mengingatkan saya kepada seorang wanita berinisial 'F' yang terakhir saya temui di tahun 2020, melainkan karena teringat momen saat mengikuti pelatihan RPA. Selama pelatihan saya banyak menghabiskan waktu dengan menggambar, mencorat-coret kertas yang disediakan panitia di meja. Begitulah cara saya menyimak materi-materi yang disampaikan. Meskipun tangan saya bergerak dengan bolpoin, bukannya dengan tombol keyboard laptop atau mouse, tetapi fokus pikiran saya tertuju pada para coach yang menyampaikan materi. Buktinya, saya mengajukan banyak pertanyaan selama kegiatan pelatihan tersebut. Semakin banyak bertanya, berarti kita semakin fokus, kan? 

Karena kegiatan menggambar dan corat-coret itulah saya akhirnya tidak mengikuti workshop. Maksudnya, saya menunggu sampai paham terlebih dahulu fungsi dari masing-masing aktivitas robot di setiap alur dari materi yang disampaikan. Baru setelah itu, saya mulai membuat robot sesuai use case di laptop. Saya berpikir, karena kita belajar membuat RPA, rasanya sangat aneh ketika kita juga seperti dikendalikan oleh para coach. Harus meng-klik ini, harus menuliskan itu, men-drag-drop semua activity. Seharusnya kita membuat RPA atas dasar pemikiran kita sendiri, tidak satu-satu didikte orang lain. Saya tertawa ketika mengetikkan ini. Kita seperti RPA yang membuat RPA.

Namun tidak apa, rapapa, cara belajar tiap orang berbeda-beda. Hal terpenting adalah para peserta pelatihan dapat ahli dalam membuat robot, dengan begitu seharusnya kita dapat dengan cepat menyelesaikan pekerjaan kantor kita. Dan tentu saja, kita dapat pulang lebih cepat karena sudah ada robot yang mengerjakan pekerjaan kita. Setelah itu kita dapat mengerjakan hal-hal mulia lainnya, seperti yang saya contohkan di awal.