Selasa, 31 Desember 2024

Manusia-manusia Gagal

 Tiga ratus enam puluh enam hari sudah kita lewati. Teramat banyak kisah sukses yang kita baca, dengarkan, harapkan supaya kisah-kisah itu menjadi bagian dari hidup kita. Cerita kesuksesan manusia, dengan pekerjaan mereka, bisnis, hubungan percintaan, pendidikan, pertemanan, atau dalam hal lainnya. 

Kebanyakan kita begitu menyukai, bahkan menikmati berbagai pengalaman sukses seperti itu. Biografi orang-orang sukses laris manis. Seminar-seminar motivasi jualan kesuksesan penuh sesak. Linimasa, reels, FYP dijejali orang-orang kaya, bahagia, sukses. Kita sempatkan memberikan like dan love.

Karena, mungkin, yang ditulis dan dimunculkan itu ialah luaran yang berbau harum, semerbak, layaknya bunga. Semua yang terlihat indah, menawan, warna-warni. Memunculkan kekaguman. Sehingga kesuksesan merupakan hiasan dinding dan pameran dan pemandangan. 

Pengharapan atas kesuksesan menjadi sarapan, makan siang, dan makan malam kita. Angan-angan atas kesuksesan mengalir di dalam darah, sehingga amat candu.

Namun, tulisan ini bercerita tentang manusia-manusia gagal. Menjadi monumen bagi siapa saja yang gagal. Menghadirkan pigura untuk mereka yang gagal, secara lahir, batin; secara makna, konteks; secara implisit, eksplisit. Menjelma medali penghargaan atas ketabahan, kesialan, keikhlasan, kemuakan, kelemahlembutan, ketidakberdayaan, keterusterangan, kejujuran, ke-ke-an yang lainnya.

Manusia-manusia gagal seperti ditakdirkan untuk menjadi orang buangan. Yang kisahnya tidak perlu untuk diceritakan kepada khalayak ramai. Cukup ditutupi oleh kain kafan, atau bahkan daun pisang. Saking tidak layaknya untuk diketahui.

Padahal, dari merekalah kita bisa mendapatkan banyak pelajaran. Hikmah. Seperti semangat dari tulisan dan blog yang sedang Anda baca ini. Mengajak kita melihat dari sudut pandang yang lain, dari pojok ruang waktu. Mengintip dari lubang kecil pintu kebesaran Tuhan.

Baik. Tulisan ini akan bercerita tanpa struktur yang jelas, bisa saja lompat dari satu pembahasan ke pembahasan yang lainnya. Sebab memang ditulis tanpa banyak persiapan. Hanya ditulis dalam satu malam, sembari menyiapkan diri untuk kesalahan penyebutan tahun "2024", alih-alih "2025", dalam seminggu ke depan.

Pernahkah Anda menanyakan ulang definisi "kegagalan" dan "kesuksesan"? Apakah ada sedikit gelitikan ketika membaca pembukaan tulisan ini? Apakah yang menjadi sukses itu hanyalah mereka yang kaya dan bahagia? Tapi memangnya apa dan bagaimana yang disebut dengan "kaya" dan "bahagia" itu?

Dalam tulisan ini, pertama-pertama kita akan menggunakan pemahaman yang umum atas kegagalan dan kesuksesan. Yakni, kalau berhasil mencapai suatu tujuan, ya itu disebut sukses. Kalau tidak, berarti gagal. Sampai sini, semoga kita masih sepemikiran, satu frekuensi. Karena memang itulah konstruksi berpikir yang ingin dibangun.

Saat menyebut "manusia-manusia gagal", otak kita seharusnya akan memikirkan mereka yang belum atau tidak atau sejak awal sama sekali tidak ditakdirkan untuk meraih apa yang dicita-citakan, apa yang diimpikan, apa yang diharapkan. Sebab dasar itulah, kita menyebutkan "gagal".

Hikmah pertama yaitu tentang calon pemimpin gagal. (Saya tidak ingin menuliskan capres gagal, sungguh).

Ketika negeri ini memiliki satu calon, atau mungkin dua, atau mungkin banyak calon, yang menawarkan keadilan, kesetaraan. Namun, harapan dan asa itu hanya tetap menjadi harapan dan asa. Nilai itu gagal. Meskipun sebenarnya yang gagal bukan sang calon, melainkan negeri ini.

Pun sang calon juga pernah mengatakan, jika beliau terpilih, maka Allah ijinkan. Tapi jika tidak, Allah menyelamatkannya. Berarti sepertinya manusia gagal satu itu tidak benar-benar gagal. Bisa jadi dengan tidak terpilihnya beliau, ia telah sukses untuk menghindari mara bahaya.

Hal yang sama juga pasti sering kita alami. Apa yang kita pikir suatu kegagalan, karena tidak terpilih menjadi ini dan itu. Ternyata menyelamatkan kita, jiwa kita, pikiran kita, mental kita, akal sehat kita. Contohnya ketika tidak terpilih menjadi perwakilan perusahaan dalam ajang internasional. Atau saat promosi tidak kunjung diberikan. Yang ternyata menyelamatkan keluarga kita dari berbagai fitnah.

 Dua belas bulan berlalu tentunya tidak selalu hitam, tidak selalu putih, pasti abu-abu, harapannya sih warna-warni. Inilah pengantar ke hikmah kedua. Tadi masih membahas tentang "calon", sekarang langsung membahas tentang pemimpin yang gagal.

Apakah presiden gagal? Apakah gubernur gagal? Apakah walikota, bupati gagal? Apakah camat gagal? Apakah lurah, kepala desa gagal? Apakah ketua RW gagal? Apakah ketua RT gagal? Apakah kita, sebagai pemimpin di kantor, pemimpin keluarga, pemimpin bagi diri sendiri telah gagal?

Kita telah banyak mewarnai hari-hari. Kita sebagai diri sendiri, perlu banyak bercermin. Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya, rakyat adalah cerminan dari pemimpinnya. Jadi mungkin saja ketika pemimpin yang kita nilai gagal, hanya sebuah refleksi atau pantulan dari diri kita yang gagal. Gagal memberikan saran & masukan. Gagal melaksanakan fungsi check & balance. Gagal dalam fungsi controlling.

Kuas-kuas yang kita pegang, gagal untuk menyumbang goresan warna yang indah. Padahal sejak awal sudah sepakat lukisan itu diselesaikan dengan kolaborasi.

Berbicara mengenai kepemimpinan, memang tak ada habisnya. Apalagi jika disangkutpautkan dengan keberhasilan, kesuksesan, kegagalan. Belum lagi berbicara tentang multiple effect, domino effect, atau bahkan butterfly effect!

Yang terpenting, di tahun 2025 nanti kita tidak salah lagi dalam memilih pemimpin. Dan tidak gagal lagi untuk menjadi pemimpin. (Seperti yang saat ini saya rasakan) Hal paling utama, kita kembali menjadi manusia, yang penuh awas dan kepekaan. Bukankah cermin akan memantulkan bayang apapun yang muncul di depannya? Jadi apabila otak kita, hati, pikiran, nurani bersih dan mengkilap, pasti kita bisa membedakan mana pemimpin yang akan sukses dan gagal. Dalam membimbing kita kembali kepada Rabbal 'alamin. Ya, walaupun jalannya bermacam-macam.

Bagi kita yang di kantor diamanahi sebagai seorang pemimpin, koordinator, manager, team lead, atau apa pun sebutannya, pasti banyak merasa gagal. Atas kejadian-kejadian yang terjadi. Peristiwa yang membuat kita bingung, sebenarnya bisa kita kontrol atau tidak. Atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tim kita. Orang-orang yang membuat kita bingung, sebenarnya pesan kita sudah sampai atau belum kepada mereka.

Perasaan gagal itu, oleh Tuhan pasti sudah didesain sedemikian rupa supaya kita bisa kembali kepada-Nya, kembali mengingat-Nya. Sehingga perlahan hikmah, satu per satu, muncul. Itulah yang terpenting. Hikmah. Menjadikan manusia-manusia gagal seperti kita akan menjadi "manusia" sesungguhnya. Seutuhnya.

Sayangnya, perasaan gagal itu tidak hanya menghampiri para pemimpin. Perasaan yang tiba-tiba muncul ketika kita sedang sendiri. Sebagai pribadi pun kita sempat "dikaruniai" kegagalan. Inilah hikmah ketiga.

Sebagai pribadi, kita merasa menjadi anak yang gagal. Karena tidak bisa sepenuhnya membahagiakan orang tua, contohnya: (yang terparah) saat usia 30 tahun tapi belum bisa memenuhi ekspektasi keduanya, supaya kita bisa segera menikah. Padahal di luar sana, banyak orang yang berhasil dan sukses dalam pernikahan. Apa yang membedakan kita dengan mereka? Apakah ekspektasi kita yang terlalu tinggi?

Sebagai pribadi, kita merasa menjadi kakak yang gagal. Karena tidak bisa seutuhnya sebagai tempat curhat adik-adik kita. Pundak kita yang tidak pernah menjadi sandaran mereka. Bahkan ada kalanya, komunikasi kita dengan adik yang tidak seperti keluarga lainnya. Hanya pragmatis. Tidak bisa berbasa-basi. Sementara itu, banyak kakak-adik yang harmonis, tumbuh bersama untuk bisa saling mendukung. Apa yang membedakan kita dengan mereka? Apakah trauma masa kecil yang memengaruhi hubungan tersebut?

Sebagai pribadi, kita merasa menjadi teman dan sahabat yang gagal. Ada berapa teman atau sahabat yang kita miliki? Apakah satu per satu kita sudah kehilangan komunikasi dengan mereka semua yang dulunya mesra, dulunya akrab, konco kenthel? Seberapa kecil circle pertemanan kita sekarang? Apakah karena kita gagal untuk menjaga perasaan dan hubungan yang baik? Apakah kita sebrengsek itu, sehingga kita tidak sudi lagi untuk menghubungi mereka? Padahal dulu sering sekali mengunjungi rumah, ketika kita pulang kampung.

Sebagai pribadi, kita merasa menjadi warga negara yang gagal. Bangsa yang gagal. Anggota masyarakat yang gagal. Tidak bisa memberikan kontribusi apa pun. Padahal, sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain. Apakah memang kepemimpinan nasional yang juga "gagal", yang membatasi kita untuk bisa sukses menjadi warga negara, bangsa, anggota masyarakat? Berarti kembali lagi karena kita gagal memilih pemimpin yang benar? Tentu semuanya berkelindan.

Sebagai pribadi, kita merasa menjadi hamba yang gagal. Karena tidak bisa secara kaffah menjalankan ibadah, mengikuti perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, menjalankan amar makruf nahi munkar, menjadi khalifah fil ard, menyembah sujud hanya kepada Tuhan yang Esa. Gagal total. 

Tidak perlu khawatir. Tak usah risau. Tuhan Maha penerima tobat. Maha pengampun. Maha membolakbalik hati. Maha pengabul doa. Sampai detik ketika menulis, membaca, dan merenungi tulisan ini, kegagalan-kegagalan tersebut bisa saja akan diganti, diputar 360 derajat, menjadi kesuksesan. Aamiin.

Waktu itu seperti pedang, apabila tak pandai menggunakannya, kita yang akan ditebas. Waktu dan kesempatan di 2025 yang akan kita hadapi esok hari, serta pemahaman akan rahmat-Nya yang begitu luas memenuhi alam semesta ini, semoga menjadikan kita manusia-manusia yang gagal dalam kemaksiatan. Gagal dalam menimbun dosa. Gagal dalam terjerumus ke dalam apa-apa yang membuat Tuhan tidak rido dan murka.

Atau kalau sejak awal, Anda tidak punya niatan untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, bisa disumbangkan kepada orang-orang yang amat sangat membutuhkan waktu ekstra. Bagi mereka yang datang ke kantor sebelum jam setengah 7 dan pulang selepas maghrib. Karena begitu banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Bagi mereka yang berusaha untuk tidur 7 jam, semata-mata agar bisa bangun pagi untuk lari (atau jogging) demi jantungnya yang lemah.

Namun, bagaimana pun, semua ini, keputusan ada di tangan masing-masing. Mau menjadi manusia gagal yang seperti apa?

Manusia adalah makhluk dinamis. Hatinya begitu mudah berubah-ubah. Ia seperti wadah yang siap menerima hidayah dari Tuhan. Di satu waktu menjadi tempat sampah tipu daya iblis!

Akhirnya, kegagalan satu, dua, tiga, beribu-ribu kegagalan akan mengantarkan kita kepada kesuksesan untuk bisa bertemu dengan-Nya. Dengan catatan, dari semua kegagalan itu, selangkah demi selangkah kita menjadi semakin bijaksana.

Sabtu, 17 Agustus 2024

Lomba Makan Kerupuk

 Pak Yusuf, wali kelas 4 SD saya suatu ketika di bulan Agustus pernah berkata di depan kelas. "Saya heran dengan lomba makan kerupuk. Mengapa masih terus dilakukan?" begitu ucap Pak Yusuf. "Padahal hanya mengajarkan keserakahan!" lanjut beliau. Kata-kata yang begitu mengena ke dalam hati dan pikiran saya, menjadi core memory hidup saya. Selalu saya ingat kembali (recall) ketika memasuki bulan kemerdekaan. Hingga tak terasa sudah 20 tahun sejak momen itu terjadi. Doa terbaik untuk Pak Yusuf!

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Tujuh puluh sembilan. Sebuah angka yang tidak sedikit. Juga belum tua-tua amat. Masih banyak hal yang bisa diperbaiki di negeri ini. Meskipun seharusnya perbaikan-perbaikan itu sudah dilakukan jauh sebelumnya. Kekurangan-kekurangan yang selalu menjadi topik pembahasan di tiap perayaan kemerdekaan. Munculnya berbagai retorika kenegaraan. Contoh pertanyaan yang sering muncul adalah "Apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka?"

Apakah sudah ada jaminan sila kelima Pancasila dijalankan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara? Saya sedikit tersenyum ketika menuliskan ini. Bukan atas tragedi yang akan dituliskan. Tentu saja bukan. Karena itu harus menjadikan kita menunduk untuk muhasabah diri. Saya tersenyum sebab saking banyaknya materi ketidakadilan sosial yang ada. Sehingga saya tidak perlu memutar otak terlalu keras. Indonesia menampilkan banyak sekali. Banyak sekali. 

Tak habis-habisnya kita melihat dan membaca berita melalui layar smartphone, di linimasa media sosial, aplikasi-aplikasi percakapan, tentang bagaimana ketimpangan terjadi di negeri tercinta ini. Ketimpangan yang seperti mencoreng ideologi negara. Bagaimana bisa di negara Pancasila ini, masih ada yang mati kelaparan sedangkan di ibukota baru diadakan pesta pora? Kendati katanya untuk perayaan kemerdekaan tidak ada kata mahal.

Bangsa Indonesia memang diciptakan menjadi salah satu bangsa yang kuat. Manusia-manusia yang didesain oleh Tuhan untuk memiliki hati yang tegar dan prasangka baik sedalam samudera. Pagi ini di beranda X saya membaca postingan (yang dilengkapi foto), seseorang yang membagikan pengalamannya berbelanja di pasar tradisional.

Ada seorang penjual sayur di pasar yang sederhana, dengan TV tabungnya menonton kegiatan upacara yang disiarkan langsung dari ibukota baru, yang memakan biaya miliaran tersebut. Saya yakin, sang penjual sayur menaruh harapan besar bagi kemajuan Indonesia kepada para petinggi yang berkumpul di dalam kegiatan upacara itu. Meskipun tentu saja hati orang tidak ada yang tahu. Apalagi isi hati mereka-mereka itu.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Berarti 2045 tinggal 21 tahun lagi. Indonesia Emas. Itulah yang dijual oleh para penabur asa. Seratus tahun pasca kemerdekaan, Indonesia sudah mampu bersaing dengan negara-negara maju. Maka dari sekarang manusia-manusia Indonesia mesti "disiapkan" dengan baik. Mulai dari karakter, kompetensi, mental, kecintaan kepada negeri, dan yang terpenting adalah seberapa Pancasila mereka. Tentu saja Pancasila yang benar, bukan gimmick.

Menyiapkan 2045. Dua puluh satu tahun dari sekarang, berarti saya akan berusia 50-an. Tim saya (usia 20-an tahun) akan berumur 40-an. Para mahasiswa akan berumur 30-40. Pemuda-pemudi yang sekarang produktiflah yang akan menjadi pemimpin masa depan. Menjadi bagian dari masyarakat. Menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pengalaman, pengetahuan, bahkan kekayaan, ketenteraman hidup, kemandirian finansial perlu disiapkan.

Namun, mereka saat ini masih harus berjuang karena susahnya mencari pekerjaan (dan mempertahankannya). Data BPS yang dilansir menunjukkan kenaikan signifikan jumlah PHK di negeri Pancasila ini daripada tahun lalu. Mereka harus mati-matian berjuang dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tak banyak. Juga batasan usia rekrutmen yang dipersyaratkan terlalu kecil. Belum lagi harus bersaing dengan entitas bukan manusia. Robot & mesin. Kecerdasan buatan. Atau apalah itu produk dari kapitalisme.

Menuju 2045 berarti harus mempersiapkan manusia yang utuh. Bagaimana caranya? Menurut hemat saya, kita harus menyepakati lagi, sebenarnya apa idelogi negara ini. Lalu menginternalisasi ideologi tersebut ke dalam diri. Ke dalam pikiran, hati, perbuatan, perkataan. Dan sebetulnya Pancasila salah satu ideologi yang bisa membawa Indonesia menjadi negara utopia. Asalkan benar-benar dijalankan sebagai penerang jalan, bukan tongkat pemukul sesama.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan, dan semuanya itu. Juga susahnya mendapatkan pekerjaan karena mulai berkurangnya padat karya. Apakah berhulu pada keserakahan manusia? Orang-orang pemilik modal (dan kesempatan dan privilege) semakin ke sini semakin berfokus pada keuntungan yang didapatkan, alih-alih pada kesempatan anak bangsa mendapatkan pekerjaan yang layak. Demi efisiensi dan peningkatan revenue, manusia semakin digantikan oleh robot, mesin, dan kecerdasan buatan.

Apakah juga keserakahan manusia yang mengakibatkan para pejabat tidak segan-segan untuk melakukan tindakan korupsi? Yang menyebabkan anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi ketimpangan tersebut secara struktural, malah masuk ke dalam dompet pribadi. Yang menyebabkan pendidikan seperti jalan di tempat, tidak menghasilkan outcome apapun selain hanya manusia yang terbiasa untuk berlaku curang. Yang menyebabkan pemuda-pemudi usia produktif kalah bersaing sebab kompetensi mereka kurang terasah.

Apakah juga karena keserakahan yang tumbuh di dalam setiap manusia, yang menyebabkan kita lupa untuk berbagi? Bahkan sampai harus mengambil hak orang lain? Hak warga adat, hak wong cilik, hak lingkungan, hak mereka yang kalah (sejak dari kesempatan), hak orang-orang yang belum tahu besok apakah bisa makan, hak bangsa, hak anak-cucu kita.

Apakah kemerdekaan yang telah kita capai inilah yang membuat orang-orang merasa bebas untuk menggerogoti segala apa yang ada? Termasuk menggerogoti kemerdekaan bangsa sendiri? Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Retorika-retorika tersebut haruslah menjadi pekerjaan rumah kita. Menjadi bahan perenungan di menit-menit sebelum tidur, di sepertiga malam, di waktu subuh kita, di antara adzan dan iqamah.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Apakah memang benar kalau lomba makan kerupuk yang kita lakukan setiap tahun itu, yang menyebabkan kita menjadi begitu serakah? Tentunya perlu ada penelitian khusus terkait ini. (Jangan-jangan sudah ada?). Tapi sepertinya para peneliti lebih menyukai penelitian bagaimana caranya supaya tanah lahan gambut bisa subur ditanami singkong dan jagung.

Coba kita bersama-sama preteli lomba makan kerupuk, kita detailkan agenda wajib setahun sekali tersebut.

Teknis lomba makan kerupuk yaitu sebuah kerupuk yang digantung dengan tali setinggi mulut peserta lomba. Siapa yang bisa makan dan menghabiskan kerupuk tercepat yang akan menjadi pemenang. Makan hanya bisa menggunakan mulut dengan bantuan tali gantung. Kedua tangan tidak boleh menyentuh kerupuk ataupun tali. Sangat sederhana.

Mungkin karena kesederhanaan tersebut yang menjadikan lomba ini selalu ada di setiap pergelaran tujuh belasan. Para panitia tidak perlu repot-repot memikirkan lomba lainnya. Karena memang kita tidak terbiasa untuk berpikir keras. Apalagi mempertanyakan hal-hal yang sudah kita wajarkan di masyarakat.

Lalu, bagian mana dari kesederhanaan lomba makan kerupuk ini yang mendorong kita untuk menjadi serakah? Apakah karena proses makannya yang harus buru-buru? Kan namanya juga berkompetisi. Apakah karena proses makannya yang tanpa menggunakan tangan? Sehingga makan seperti (maaf) binatang? Sudah buru-buru, makan tanpa tangan pula. Tanpa etika. Apakah sisi kebinatangan yang rakus, yang serakah, yang tidak manusiawi tersebut penyebabnya? Seperti yang saya sebutkan di atas, pertanyaan retorik ini juga harus kita temukan jawabannya.

Atau apakah sebenarnya bukan lomba makan kerupuk yang mengajarkan keserakahan kepada kita, melainkan lomba tersebutlah yang "mengakomodir" keserakahan yang sejak awal sudah ada dalam diri kita? Baik, ini PR kita bersama.

Kalau saya pribadi melihat filosofi dari lomba makan kerupuk ini berdasarkan hakikatnya. Kerupuk, yang menjadi bintang dari lomba ini. Sebuah makanan pelengkap yang tidak ada "dagingnya", hanya berisi "angin". Sedangkan kita berkompetisi, hanya untuk menghabiskan makanan yang tidak memberi manfaat sedikit pun (selain karena hadiah lomba). Lalu kita geser pemikiran ini ke dalam spektrum yang lebih luas di dalam kehidupan.

Seringkali kita gagal untuk memahami apa yang paling esensial dalam hidup. Apa yang menjadi tujuan kita dilahirkan di dunia ini. (Hal itulah yang menjadi kajian filsafat eksistensialisme.) Bagi kita yang memiliki framework pemikiran seorang muslim, kita geleng-geleng kepala saat melihat banyak dari kita yang tidak bisa menemukan hakikat tujuan hidup. Terlalu menghabiskan banyak energi, berlomba-lomba mengejar segala hal yang tidak bermanfaat. Memburu uang, uang, uang. Sampai-sampai harus menabrak aturan sana-sini. Padahal yang dikejar tidak akan dibawa ke dalam kuburan. 

Walaupun bukan berarti uang itu tidak ada manfaatnya. Melainkan bagaimana uang dan kekayaan itu dipandang. Apakah ia adalah kerupuk, ataukah daging. Pun, apabila ia adalah kerupuk, lalu apa dagingnya? Apakah daging bagi negeri ini adalah ketuhanan? Apakah kemanusiaan? Apakah persatuan? Apakah kerakyatan? Apakah keadilan? Itulah yang harus segera disadari.

Pada bab sebelumnya, saya mengusulkan untuk kita kembali melakukan refleksi seberapa Pancasila kita. Sehingga kita dapat memaknai lomba makan kerupuk sebagai ajang untuk mengamalkan kelima sila. 

Bersyukur atas nikmat yang diberikan karena masih bisa merasakan gurihnya kerupuk, implementasi sila pertama. Tepa selira dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berkompetisi, sesuai sila kedua. Menjaga kerukunan dan solidaritas antar peserta lomba, makna sila ketiga. Legawa atas hasil yang diputuskan oleh panitia lomba, buah dari sila keempat. Semua peserta lomba memiliki kesempatan yang sama, perwujudan dari sila kelima. Alangkah indahnya lomba makan kerupuk apabila dipandang dengan kacamata kebijaksanaan.

Sehingga, apa yang kita takutkan dari lomba makan kerupuk sebagai penyebab keserakahan tidak akan terwujud. Karena kita sudah memahami apa yang esensial di dalam diri ini. Bagi bangsa dan negara ini. Ketimpangan ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya itu tidak akan terjadi. Banyak perusahaan dan bisnis memilih untuk memberi kesempatan kepada anak bangsa untuk bisa bekerja dan berkarya lebih baik lagi serta mendapatkan gaji yang layak.

Harapan itulah yang ingin coba saya sampaikan di hari kemerdekaan ini. Lalu, sebagai pelengkap, mungkin segala macam hiruk pikuk merah putih ini hanyalah kerupuk saja. Upacara yang diadakan secara seremonial dan menghabiskan biaya tak sedikit itu pun cuman sebatas kerupuk. Kemerdekaan yang kita gemborkan tak lebih dari sebuah kerupuk yang terombang-ambing di atas tali, bukanlah daging. Jiwa, raga, pikiran, diri kita belum benar-benar merdeka.

Kalau memang seperti itu, saya tawarkan daging dan sayur mayur. Yaitu kutipun dari Rib’i bin ‘Amir Ats-Tsaqafi, tentang kemerdekaan hakiki ialah mengeluarkan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia, menuju penyembahan kepada Yang Maha Menguasai manusia. .. dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat.

Syahdan, dirgahayu Indonesia. Negeri tempat kita bisa beribadah dengan perasaan aman dan tenteram.

Minggu, 09 Juni 2024

Belajar dari Gibran



"Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri."

(Kahlil Gibran)

...

Sore itu, selepas menyelesaikan pekerjaan, di meja kantor departemen, yang hanya ada saya dan rekan kerja saya, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di dalam kepala. Sebuah gagasan untuk berdiskusi ringan sembari merapikan barang-barang kami, untuk persiapan pulang ke rumah masing-masing.

"Menurutku, kalau dia bisa melawan Bapaknya dengan tidak meneruskan kebobrokan ini, pasti akan keren sekali!" ucap saya mengawali diskusi.

"Gimana maksudnya?" tanya rekan sefungsi saya itu.

"Ingat kisah tentang Nabi Ibrahim dan ayahnya, kan? Beliau berani 'melawan' sang ayah yang seorang pembuat patung berhala. Juga beliaulah yang menghancurkan berhala-berhala, kecuali yang terbesar, untuk memberikan sebuah pelajaran dan hikmah, supaya ayah dan kaumnya berubah. Emang itu contoh yang ekstrim, sih. Tapi coba bayangkan jika semangat perbaikan itu juga ada di dalam diri setiap anak!"

Seperti yang kita ketahui bersama, kisah tentang dialog Nabi Ibrahim alaihissalam dengan ayahnya itu tercatat di dalam Al-Quran. Ialah di dalam surat Maryam (19) ayat 43, yang terjemahannya "Wahai Ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?" sampai pada ayat 47, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku."

Juga pada surat Al-Anbiyah (21), mulai dari ayat 52 ketika Nabi Ibrahim alaihissalam bertanya, "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?" hingga kejadian penghancuran patung berhala-berhala di ayat 58-65, juga peristiwa pembakaran nabi yang tertulis sampai ayat 70 itu. Ah, tentu saja para pembaca yang budiman sudah hafal betul kisah ini.

Hikmah dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam yang akan dibahas pada tulisan ini, selain karena spontanitas diskusi dengan rekan kerja saya, juga sepertinya cocok sebagai pelengkap dalam menyambut bulan Zulhijah, bulan yang di dalamnya sering dibahas kisah pengorbanan Nabi Ismail alaihissalam, anak Nabi Ibrahim.

Dalam kisah abulanbiya itu, beliau mendapatkan wahyu dari Allah subhanahuwataala padahal sang ayah adalah seorang penyembah berhala. Dakwah sang nabi kepada ayahnya itu, yang mana membawa perubahan yang cukup besar, tidaklah kasar dan tetap lemah lembut. Betapapun 'berbeda'-nya orang tua kita dengan pandangan kita, tak boleh ada sedikitpun hardikan, celaan, hinaan, atau ucapan-ucapan kasar kepada mereka berdua.

Peristiwa dialog sang nabi dengan ayah terkasih itu memberikan hikmah bahwa anak bisa saja tidak selalu sepemahaman dengan orang tuanya, apalagi jika perbuatan ayah atau ibunya tidak sesuai dengan norma, hukum, adat, etika, atau prinsip keadilan sosial. Sang anak bisa berbeda 180 derajat dari orang tuanya.

Kisah tentang anak yang berbeda sama sekali dengan ayahnya juga dapat kita temui pada jaman Rasulullah Muhammad shalallahualaihiwassalam. Tersebutlah Amr ibn Al-Ash, seorang panglima perang Islam yang diberi julukan "Sang Pembebas Mesir". Dia lahir dari seorang musuh Rasul, si pencela kehidupan akhirat dari kalangan elite Quraisy, Al-Ash ibn Wa'il. Tak dikira dari orang tua yang jauh dari hidayah itu lahirlah seorang muslim yang taat, seorang pejuang.

Selanjutnya ada Abdurrahman dan Khalidah, dua orang beriman dan pengikut Rasul, yang merupakan anak dari Al-Aswad ibn Abd Yaghuts. Al-Aswad adalah seorang perundung Rasul dari kalangan Bani Zuhrah. Meskipun masih berkerabat dengan Rasul, kebencian membuatnya selalu berusaha untuk menghentikan langkah dakwah Islam. Berbeda dengan sang ayah, Abdurrahman dikenal banyak meriwayatkan hadis dari para sahabat Rasulullah. Sementara Khalidah hidup bersama sahabat lainnya di Madinah, menjadi wanita salihah.

Al-Harits ibn Qais Al-Sahmi, termasuk ke dalam kelompok tukang olok yang juga sering menyakiti kekasih Allah subhanahuwataala. Al-Harits adalah seburuk-buruk musuh Rasul, tetapi merupakan ayah dari para syuhada, seperti Abu Qais, Al-Harits ibn Al-Harits, Abdullah, dan Al-Hajjaj. Begitulah, dari para kafir Quraisy dapat lahir orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Sehingga, memang benar, anak selalu rindu akan jati dirinya sendiri. Juga atas Hidayah dari Allah subhanahuwata'ala. Wawasan dan hikmah tentang anak dan ayah ini saya dapatkan ketika membaca buku "Para Penentang Muhammad SAW" karya Misran dan Armansyah (terbitan tahun 2018).

Saya juga teringat ucapan dari Gus Baha di salah satu kajian, bahwa tidak semua penjahat akan melahirkan anak yang akan menjadi penjahat juga, bisa jadi darinya lahir anak-anak yang akan menjadi manfaat bagi agama, bangsa, dan negara. Selanjutnya, meminjam kalimat Leila S. Chudori pada novel Namaku Alam:

"Pada saat setiap bayi lahir, para malaikat turun di suatu pagi dan mencium ubun-ubun sang bayi... Aku percaya, seorang bayi yang baru saja lahir adalah makhluk suci tanpa dosa yang meluncur ke dunia dengan bekal ciuman malaikat pada ubun-ubunnya serta harum bunga mawar dan untaian doa para orang tua."

Setiap anak yang lahir, terlahir suci. Dalam keyakinan seorang muslim, setiap anak memiliki fitrah dan yang menjadikan mereka yahudi, nasrani, atau majusi adalah orang tuanya. Terlepas dari kuatnya peran orang tua dalam menumbuhkembangkan anak, setiap anak memiliki pemikirannya sendiri tentang kehidupan.

Para orang tua tidak bisa berambisi untuk memaksakan pahamnya kepada anak, misalnya tentang dinasti politik atau tirani. Para orang tua memang berkewajiban untuk memberi pelajaran kepada anak, seperti dalam hal akidah dan syariat. Selain itu, tentang hal-hal duniawi, biarlah anak dapat memilih 'jalan' sendiri sesuai dengan panggilan hatinya. Selama itu tidak bertentangan dengan hukum positif, tentunya. Bagi para orang tua, ada ucapan dari Ali ibn Abi Thalib RA yang patut kita renungkan, "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian."

Di dalam sejarah Indonesia, anak-anak korban perang dan konflik di masa lalu memilih untuk saling memaafkan dan melakukan rekonsiliasi. Tidak terus menerus membawa dendam atas apa yang diperbuat ayah dan ibu mereka. Mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), sebagai benih dan wajah perdamaian di negeri ini. Kisah lengkapnya dapat dibaca pada buku The Children of War.

Seorang anak selalu membawa harapan bagi orang tua. Sebuah generasi baru akan menawarkan semangat perubahan dan perbaikan untuk sebuah bangsa. Maka dari itu, pendidikan menjadi sangat krusial. Bagaimana pendidikan yang berkualitas akan membentuk anak dengan karakter yang baik, calon pemimpin masa depan, yang adil dan berintegritas.

Karena memang seyogianya, ilmu pengetahuan mengantar kita kepada kebijaksanaan. Sehingga apabila melihat orang tua yang korup, culas, dan tamak, lebih-lebih diktator, anak yang memiliki kejernihan hati dan akal akan berupaya untuk meluruskan. Tidak melanjutkan keburukan dan kebatilan tersebut. Menghentikan tongkat estafet tercela itu. Bukan malah dengan senang hati membawa semangat keberlanjutan, apalagi mengendarai nepotisme, misalnya.

Walaupun di dalam realita kehidupan, tidak semua anak tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang ideal. Masih ada beberapa keluarga yang kurang beruntung sehingga mendapatkan cobaan yang lebih berat daripada kebanyakan orang. Contohnya seperti keluarga yang memiliki rumah di bantaran sungai yang berada di utara terminal, yang ketika SD, rumahnya itu harus digusur, sewaktu ia bersama ketiga saudara perempuan dan orang tuanya.

Namun, bagaimanapun, jangan sampai seperti Sengkuni, salah satu tokoh di dalam dunia pewayangan yang berada di barisan Kurawa. Tokoh yang suka adu domba itu memiliki masa lalu yang pahit. Ia adalah satu-satunya anak yang bertahan hidup, atau dibiarkan hidup, setelah memakan semua kerabat keluarganya. Sengkuni menjadi perwujudan dari keburukan dan kejelekan.

Seperti yang pernah ditulis dalam bukunya "Ngawur Karena Benar", Sujiwo Tedjo pernah mengusulkan untuk memasang wayang Sengkuni sebagai pajangan, alih-alih Pandawa. Sebagai iling-ilingan, pengingat bahwa ada potensi kejelekan dari dalam diri manusia yang harus senantiasa dilawan. Sebagai simbol bahwa jangan sampai kita menjadi seperti Sengkuni. Jangan sampai menjadi orang yang suka memfitnah, menghasut, dan mencelakakan orang lain.

Mungkin inilah saatnya, ketika di masa lalu, negeri ini memasang foto-foto Puntadewa, Werkudara, atau Arjuna, pihak Pandawa, mulai tahun ini kita akan memasang foto-foto Sengkuni, Duryudana, Dursasena, dan lainnya dari pihak Kurawa. Perwujudan lakon wayang yang memilih jalan kelicikan dan kemudaratan.

Kembali kepada pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam, yang menghancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan ayah dan kaumnya. Di jaman sekarang, yang modern ini, berhala-berhala itu telah berupa wujud, bukan lagi sekadar patung-patung dan ukiran-ukiran, melainkan sudah berbentuk kekuasaan, jabatan, harta, feodalisme, dan lainnya (yang membutakan nurani). Orang-orang banyak menyembah apapun perwujudan 'raja', yang dulu bertindak sebagai penerjemah makrokosmos kepada mikrokosmos.

Sehingga, penulis mengajak semua pembaca yang budiman untuk dapat berperan sebagai sang nabi, untuk menghancurkan berhala-berhala negara, yang menghambat terwujudnya janji kemerdekaan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam momen Idul Adha, kita juga seharusnya menjalankan ibadah qurban. Sebagai pengingat kisah ketakwaan dan kesalehan hidup Ibrahim dan anaknya, Ismail.

Salah satu insight menarik dari qurban adalah kata 'qurban' memiliki akar kata yang sama dengan 'qarib' yang berarti dekat. Memang, kalau kita renungkan, semua yang kita jadikan qurban atau kita korbankan adalah sesuatu yang dekat dengan kita. Uang untuk membeli kambing, harta yang didapatkan dari kerja keras, waktu berharga, dan semua yang kita dekat dengannya. Tidak mungkin kita mengorbankan sesuatu yang bukan milik kita. Kalau itu namanya bukan qurban, toh?

Nabi Ibrahim alaihissalam sewaktu mendapatkan wahyu untuk menyembelih Nabi Ismail alaihissalam, orang yang sangat dekat dengan beliau, merupakan suatu ujian apakah bisa merelakan anak yang dicintainya. Bagi kita saat ini, tentu saja ujian semacam itu tidak ada lagi, tetapi pengorbanan yang sama masih mungkin terjadi. Apakah kita siap untuk mengorbankan anak kita untuk bisa memilih hidupnya sendiri?

Pun dari sudut pandang anak, apakah kita siap untuk merelakan ambisi orang tua kita? Dengan memilih jalan perjuangan sendiri. Tidak membawa nama orang tua. Tidak memanfaatkan privilege orang tua. Tentu saja ini terasa berat, apalagi bagi anak yang sedari kecil sudah terbiasa mendapatkan banyak kemudahan-kemudahan berkat orang tuanya yang orang besar atau kaya.

Memang dibutuhkan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan.

Atau secara umum, kita harus membawa semangat Ibrahim dalam diri kita. Seperti ucapan Maulana Jalaluddin Rumi, jika kita belum mampu menyembelih hewan qurban tahun ini, maka sembelihlah sifat sombong dan angkuh dalam diri kita yang selalu merasa benar, selalu merasa pandai dan alim. 

Apa yang saya paparkan pada tulisan ini, sejatinya semua orang yang disebutkan di atas adalah para gibran atau jibran, sebuah nama yang berarti orang yang paling pandai. Nabi Ibrahim alaihissalam adalah orang yang pandai yang dapat menemukan ketuhanan, menghancurkan berhala-berhala, mampu merelakan anak tersayangnya;  Amr ibn Al-Ash juga cerdas karena bisa membawa pasukannya dalam membebaskan Mesir; Abdurrahman ibn Al-Aswad yang banyak meriwayatkan hadis nabi; serta para syuhada putra Al-Harits ibn Qais Al-Sahmi. 

Orang-orang yang pandai, cerdas, pintar yang sesungguhnya adalah siapa saja yang bisa menjadikan ilmunya bermanfaat dan berkah bagi orang lain (lebih-lebih bagi bangsa dan negara), bukan yang dengan kelicikan dan tipu muslihat mengatur siasat demi keserakahan sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Maka kita harus belajar dari para gibran yang sesungguhnya, yaitu orang-orang yang memang pandai.

Sebagai kesimpulan, kembali kepada potongan puisi di awal tulisan ini. Puisi dari Gibran Kahlil Gibran yang saya baca pertama kali tahun 2012 (melalui buku Kisah Lainnya, biografi band NOAH atau Peterpan). Apa yang dapat kita pelajari dari puisi tersebut? Pesan yang menjadi inti dari tulisan ini. Baiknya, para pembaca yang budiman dapat membaca sendiri puisi tersebut. Juga dapat menyimpulkan sendiri maksudnya (apakah related dengan negeri ini?)

Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.
Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.
Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.

Minggu, 24 Maret 2024

Agent of Wisanggeni (AoW)


Sebuah Gerakan (movement) sepatutnya harus memastikan semua orang di dalamnya memiliki semangat yang sama. Semangat itu bisa saja berwujud idealisme, visi, dan mindset. Hal yang akan menjadikan para anggota pergerakan memiliki sense of belonging, rasa saling memiliki, memiliki anggota, memiliki program, memiliki gerakan itu sendiri. Mengutip pepatah, "Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri, tetapi apabila ingin berjalan jauh, maka berjalanlah bersama-sama," yang harusnya menjadi kesadaran bersama oleh semua anggota sebuah gerakan untuk mencapai tujuan secara kontinu.

Di dalam praktiknya, gerakan yang berwujud komunitas, organisasi, perkumpulan, baik swadaya maupun korporasi, mempunyai satu-dua leadership (pemimpin). Kondisi untuk memiliki kesadaran dan pemahaman seperti yang dituliskan di atas, tidak otomatis dimiliki oleh semua anggota. Inilah peran dari para pemimpin gerakan, untuk menyuntikkan values yang dapat menyatukan gerakan. Apapun tujuan dari gerakan itu dibentuk, rasa persatuan, kebersamaan, bahkan kekeluargaan harus menjadi fokus utama, bagi siapapun yang memiliki dominasi. Entah dominasi secara formal (adanya Surat Keputusan, untuk menjabat) maupun dominasi yang didapatkan dari kepercayaan orang lain (people choice).

Para pemimpin di dalam sebuah gerakan juga semestinya dapat memastikan: pertama, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Nilai ini akan membawa semangat rela berkorban ke dalam sebuah gerakan. Sebab, masing-masing anggota merasa bahwa status mereka sama, apabila terdapat hak dan kewajiban, pun berasa seimbang. Khususnya bagi sebuah gerakan non profit, yang dapat dibilang sebagai ekstrakurikuler di dalam suatu perusahaan.

Apa sih memangnya yang dicari, selain goal yang ingin dicapai bersama? Sehingga tidak muncul 'sekat' antara kelompok elit dan non-elit. Semua orang merasakan berada di posisi yang sama. Implementasi dari semangat ini adalah suara, gagasan, dan pendapat semua anggota didengar dan menjadi sangat penting. Tidak didominasi oleh arahan top-down (dari para pemimpin) yang membuat para anggota pergerakan tidak nyaman. Semakin banyak ide yang berasal dari anggota (bottom-up), menunjukkan bahwa perasaan saling memiliki (sense of belonging) dan semangat perbaikan (improvement) sudah tertanam atau terbentuk di dalam tim.

Kedua, eksekutor program seharusnya orang yang punya ide. Ide merupakan manifestasi dari kreativitas manusia. Selama manusia masih memiliki pemikiran jernih, ide akan terus diproduksi. Menurut David O'Hara, profesor Universitas Augustana, ide didefinisikan sebagai pemikiran atau opini yang terbentuk sepenuhnya, alhasil tidak akan pernah habis. Namun, apabila bicara tentang ide-ide yang berguna, ide-ide besar atau penemuan baru, David menjawab hal itu mungkin saja habis ataupun hilang. Sehingga, di dalam suatu gerakan, ide itu harus diperlakukan dengan baik dan benar.

Ide akan menjadi senjata makan tuan bila tidak didukung oleh tools yang baik. Contohnya saat orang-orang yang membahas ide itu tidak menyiapkan langkah-langkah bagaimana merealisasikannya. Ide-ide yang tercipta hanya akan menjadi batu pengganjal dari keberlangsungan suatu gerakan, komunitas, perkumpulan. Mirip seperti sebuah angan-angan kosong. Tak tahu cara mewujudkannya. Apalagi jika ide itu hanya akan menjadi tumpukan daftar pekerjaan rumah sebuah gerakan atau komunitas. Maka dari itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi, dalam konteks organisasi yang berbentuk gerakan bersama, sebaiknya orang yang membahas ide adalah yang akan mengeksekusi program.

Program yang muncul dari ide-ide yang dibahas bersama, katakanlah saat Focus Group Discussion (FGD), akan menjadi lebih baik jika dirumuskan oleh para eksekutor. Sebab, akan didapatkan hasil dengan tingkat feasibility dan possibility lebih tinggi. Karena memahami kondisi-kondisi untuk merealisasikannya. Mungkin bisa menganalisa dengan pendekatan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat).

Ketiga, lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang. Kalah bisa menjadi kondisi sementara maupun permanen. Tergantung dari apa-apa saja yang termasuk ke dalam status kalah. Pun di dalam realitas kehidupan, kalah tidak selalu menjadi sebuah konsekuensi. Ia juga menjadi opsi, menjadi pilihan aksi. Contohnya adalah mengalah. Di dalam sebuah gerakan, hal paling sulit tentunya menyatukan banyak kepala. Jadi ketika terjadi perbedaan pendapat di dalam sebuah diskusi, bagi anggota yang bijak, ia akan lebih memilih untuk mengalah, mundur dan tidak meneruskan kemelut dan perdebatan. Meskipun ia tahu ia benar.

Ketika semua anggota sudah merasa memiliki gerakan, mereka juga yang akan mengeksekusi ide-idenya, sekarang waktunya memiliki kesadaran bahwa hal terpenting adalah eksistensi, keberlangsungan, keberlanjutan gerakan tersebut. Tidak ada yang lebih utama daripada itu. Apalagi gerakan yang memiliki visi mulia, semangat perubahan misalnya. Jadi, kembali ke case perbedaan pendapat, sudah cukup bagus bagi siapa saja yang lebih mementingkan nilai-nilai bersama, alih-alih menuruti ego. 

Namun, terkadang, bagi sebagian orang, aksi mengalahnya tidak hanya sebatas pasrah dan rida, tetapi memilih tidak terlibat sama sekali dalam proses eksekusi ide. Alasan paling utama adalah tak lagi menemukan kecocokan idealisme dan semangat dengan pimpinan sebuah gerakan atau yang memiliki dominasi. Sikap ksatria untuk mundur dari pusaran arus dan mesin penggerak komunitas. Seperti Bung Hatta yang memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden. Karena kecintaan kepada Indonesia yang tak ingin terpecah lagi pasca kemerdekaan.

Keempat, keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan. Pemerintah itu sementara, tetapi rakyat itu abadi. Bentuk gerakan itu sementara, sedangkan nilai-nilai yang diperjuangkan itu abadi. Menyadari adanya dikotomi ini akan sangat berguna bagi para anggota sebuah gerakan. Mana yang termasuk ke dalam keabadian, mana yang termasuk kesementaraan. Rakyat akan tetap menjadi rakyat, siapapun presidennya, pemerintahnya. Sehingga tidak mungkin rakyat yang bergantung kepada pemerintah. Pemerintah-lah yang 'butuh' kepada rakyat.

Nilai-nilai luhur tidak tergantung oleh siapa yang memperjuangkannya. Contohnya nilai kejujuran, tak peduli siapa yang akan membawa misi, bahkan jika tidak ada orang jujur sekalipun di dunia ini, nilai kejujuran tetap akan ada, tidak akan hilang. Korelasinya di dalam sebuah gerakan, semua anggota harus menyadari bahwa kita bersifat replaceable, dapat digantikan oleh siapa saja. Sehingga menjadi sebuah kebanggaan jika kita yang 'terpilih' untuk dapat berikhtiar dan menyurihkan jalan atas gagasan-gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai. Sebuah pemahaman yang dapat membakar semangat bersama. Kita juga harus berupaya supaya generasi penerus dapat membawa tongkat estafet perjuangan tersebut.

Saya pribadi punya kesan tersendiri terkait konsep kesementaraan dan keabadian ini, yang menyangkut komunitas yang selama 2 tahun ini saya ikuti. Yaitu tentang stream yang ada di dalam komunitas tersebut. Stream lama yang harus dibubarkan. Organisasi di dalam komunitas harus dirombak kembali, menyesuaikan dengan petunjuk teknis (juknis) dari fungsi SDM. Bagi saya stream yang sebelumnya terbentuk merupakan hal yang 'abadi', merupakan ciri khas dari fungsi tempat saya bekerja. Sedangkan juknis dari fungsi SDM bersifat sementara, hanya berlaku satu tahun. Tahun depan pasti juknis itu akan diperbarui lagi. Lantas, apakah stream baru, yang telah dibentuk dengan mengorbankan stream lama itu, harus dibubarkan lagi di tahun depan? Menyesuaikan dengan juknis baru. Menurut saya itu hanya akan menguras tenaga dan pikiran anggota komunitas. Kapan semuanya dapat berjalan auto-pilot karena proses yang sudah mature? Ibaratnya, seharusnya sudah berlari lebih kencang, tetapi malah harus belajar merangkak lagi.

Begitulah kira-kira apa-apa saja yang seharusnya dipastikan oleh para pemimpin supaya dapat dimiliki oleh anggota-anggota pergerakan. Kendati demikian, fleksibilitas dan art of leadership tetap diperlukan. Tulisan di atas hanyalah bertujuan sebagai penambah kiat-kiat dan usulan-usulan. Mau dilakukan atau tidak, balik lagi kepada pribadi masing-masing. Tentu pemahaman ini saya dapatkan berdasarkan pengalaman saat menjadi pemimpin di beberapa organisasi, sejak SMA, sampai kuliah, bahkan di masyarakat. Apa yang saya sebut sebagai harta karun waktu. Hikmah yang tersembunyi dari banyak pengalaman.

Namun, tulisan ini belum berhenti sampai di sini. Di dalam perjalanan manusia, selain memunculkan nilai-nilai, semangat gerakan, hubungan sosial kemasyarakatan juga menelurkan banyak budaya. Bibit-bibit globalisasi, pasca ditemukannya berbagai alat transportasi darat, laut, udara, juga menyumbang penyebaran budaya. Salah satunya yang berkembang di Indonesia. Yaitu persebaran agama Hindu. Dan produk yang dihasilkan adalah munculnya pewayangan jawa. 

Pewayangan jawa, yang mengambil cerita dari Kitab Ramayana dan Mahabharata itu, telah menjadi bagian dari masyarakat jawa. Sedikit banyak mempengaruhi dialektika, filosofi, kerangka berpikir orang-orang, yang tentunya berimbas pada ragam bentuk sebuah pergerakan. Sehingga hal inilah yang mendasari pembahasan pewayangan jawa untuk dapat dimasukkan menjadi bagian dari tulisan Agent of Wisanggeni (AoW) ini.


Pewayangan Jawa

Nilai filosofis Pewayangan Jawa seharusnya sudah diajarkan kepada peserta didik, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai masa kuliah. Tidak seperti selama ini. Hanya terbatas pada pemberian informasi tentang nama-nama negeri berikut siapa tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemimpinnya. Seperti yang sekarang tertulis di dalam buku-buku Pepak Jawa. Contohnya seperti Gatotkaca yang memimpin Pringgodani. Atau negeri asal Pandawa, Astina. Hafalan-hafalan yang dilakukan peserta didik selama ini hanya menciptakan kekosongan nilai-nilai yang ditawarkan cerita pewayangan. Padahal cerita pewayangan jawa kaya akan nilai-nilai filosofis ke-jawa-an yang terkenal luhur. "Wong Jawa sing ilang jawa-ne, Orang Jawa yang kehilangan jawa-nya" sebuah fenomena yang muncul dewasa ini, salah satunya, mau tidak mau adalah konsekuensi dari kurangnya pendidikan wayang.

Tapi perlu dicatat, meskipun ia mengangkat budaya jawa, tidak menutup kemungkinan dapat diajarkan kepada anak-anak dari daerah di luar jawa. Atau kepada siapapun, tanpa ada batasan. Fokus utamanya adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diajarkan bersifat universal. Hal yang sama seperti pendidikan filosofi (filsafat). Filsafat barat maupun filsafat timur yang bukan produk asli Indonesia saja bisa dipelajari, apalagi filosofi yang terkandung pada cerita pewayangan jawa. Kisah yang sudah diasimilasi ke dalam budaya Indonesia, terdapat penyesuaian dari cerita asli Mahabharata atau Ramayana. Melalui budaya carangan, misalnya.

Sehingga, menurut hemat saya, pewayangan jawa, sudah sepatutnya mulai harus dibumikan dan dipagi-siangkan dengan cara-cara yang lebih baru. Dan yang terpenting, lebih sering. Seperti yang pernah dilakukan oleh Raden Ahmad Kosasih melalui pembuatan komik-komik Mahabharata. Atau pembuatan novel bercerita wayang, seperti karya Ardian Kresna dan Seno Gumira Ajidarma. Apalagi bila mengacu kepada nilai-nilai yang akan ditawarkan. Kaya sekali. Manfaat sekali. Tulisan ini pun diharapkan dapat menjadi alternatif, sebuah cara sederhana untuk mempromosikan pewayangan jawa sebagai sumber nilai-nilai dan kreativitas berpikir, yang mana didapatkan dari kisah-kisah wayang yang ada.

Misalnya, kisah tentang Abimanyu yang mati muda di dalam peperangan, dapat menjadi sumber inspirasi patriotik. Kisah tentang kesetiaan Karna kepada sang guru, bisa menumbuhkan rasa hormat siswa kepada para pendidik. Cerita tentang Ekalaya yang dibunuh oleh Sri Kresna memberikan hikmah untuk selalu waspada dan tidak 'mengendurkan pertahanan'. Pun juga kisah tentang Wisanggeni putra Arjuna, yang menjadi topik tulisan ini. Spirit Wisanggeni membara, sesuai namanya 'geni', menjadi inspirasi bagi sesiapa yang saat ini diamanahi sebagai anggota sebuah gerakan. Agen-agen perubahan. Pionir-pionir pengorbanan. Iron stock bagi negeri.

Sebelum membahas lebih detail tentang Wisanggeni dan pesan moral pada tulisan ini, kalau boleh ijinkanlah saya sedikit bernostalgia. Perkenalan saya dengan dunia wayang, tentunya juga berasal dari pelajaran Bahasa Jawa saat SD, tetapi ketertarikan untuk mendalami 'cerita' Mahabharata, Ramayana, dan produk carangan, tumbuh pasca lulus SMA, tepatnya masa-masa menunggu kuliah (tahun 2012). Saya sangat terkesan dengan semua tokoh atau karakter wayang. Waktu itu terdapat daftar nama-nama wayang di dalam suatu halaman Wikipedia, secara sabar saya baca satu persatu melalui hyperlink yang ada pada daftar tersebut.

Entah karena memang masa-masa menuju kedewasaan itulah yang membuat saya haus akan 'kebijaksanaan' atau sesederhana suka membaca rubrik Wayang Durangpo di koran Jawa Pos. Hal yang pasti, manfaat wayang, selain yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, ialah wayang dapat digunakan untuk menangkap gejala dan kondisi yang ada di masyarakat. Apa yang sudah ditangkap itu lalu diturunkan menjadi bentuk-bentuk kritik, pendidikan moral, bagi bernegara dan berbangsa. Karena wayang, apalagi dengan adanya carangan, menawarkan sebuah paket penokohan dan karateristik yang dapat dipasangkan dengan kehidupan kita. Sehingga bisa related dengan pengalaman, kisah, romansa, sosial-politik, apapun. Tokoh-tokoh baru, yang tidak ada di dalam kitab asli Mahabharata, seperti Semar dan anak-anaknya pun menambah kekayaan potensi wayang untuk dapat menggambarkan kondisi rakyat Indonesia.

Dalam kisah saya, perjumpaan dengan Bambang Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Dewi Dresnala, merupakan sebuah momen berharga. Dan apabila ditanya, siapa tokoh pewayangan favorit saya, tentu jawabannya adalah Wisanggeni. Gambarnya saya gunakan untuk foto profil beberapa akun media sosial. Semata-mata sebagai bentuk kekaguman saya terhadap para pujangga yang sudah 'menciptakan' tokoh ini. Wisanggeni seperti halnya, para ponokawan, adalah tokoh asli Indonesia. Tak akan ditemui di dalam cerita asli Mahabharata, karya Krishna Dwaipayana Byasa dari India itu.

Kelahiran Wisanggeni tidak pernah diharapkan karena ia adalah anak dari seorang manusia, Arjuna, dengan bidadari kahyangan, Dewi Dresnala. Terdapat juga versi Wisanggeni kecil yang menjadi korban kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga. Sehingga ketika ia lahir, masih jabang bayi, ia dibuang oleh sang kakek, Batara Brama. Ada juga yang menceritakan bahwa sang kakek lah yang memaksa Dewi Dresnala untuk menggugurkan kandungannya. Jadi Wisanggeni kecil belum 'utuh'. Karena bayi itu dianggap sebagai sebuah aib, ia lalu dibuang ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa. Api yang membakar tersebut, bukannya membunuh Wisanggeni, malah menghidupkannya, menjadikannya ksatria yang kuat. Sakti mandraguna.

Wisanggeni memiliki karakter yang kuat, jujur, ringan tangan, rela berkorban, mungkin disebabkan ia mewarisi gen Pandawa. Namun Wisanggeni adalah sosok yang angkuh. Seperti yang digambarkan pada bentuk wayangnya, kepalanya tidak menunduk seperti wayang protagonis yang lain. Menurut saya ini menggambarkan ungkapan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sebuah simbol dari perjuangan dan semangat pergerakan, yang mengusung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Hal yang juga telah kita bahas bersama di paragraf awal tulisan ini.

Selain itu, Wisanggeni juga dikisahkan sebagai seorang yang urakan, apa adanya, selalu menggunakan bahasa jawa ngoko, tidak pernah berbicara dengan bahasa jawa krama, kecuali kepada Sanghyang Wenang. Ini mengingatkan saya kepada salah satu gerakan underrated yang mungkin baru pertama kali didengar. Gerakan Djawa Dipa. 

Sebuah gerakan yang lahir di Surabaya, 11 Maret 1917, dengan gagasan yang dicetuskan oleh Tjokrosoedarmo. Gagasannya yaitu menghilangkan feodalisme-kolonialisme yang terdapat pada bahasa jawa. Para anggota gerakan itu beranggapan bahwa penggunaan bahasa jawa krama kepada para priayi, bangsawan, bahkan kepada pemerintah kolonial Belanda, hanya akan terus menerus mengawetkan penjajahan dan sikap tidak adil oleh para raja. Sehingga ide mereka adalah menghilangkan bahasa jawa krama dan diganti dengan jawa ngoko untuk pembicaraan sehari-hari kepada semua orang. Mereka beralasan bahwa bahasa jawa ngoko lebih banyak digunakan oleh masyarakat umum, seperti para petani, buruh, sipil. Lewat gagasan 'penyetaraan' bahasa itu, Djawa Dipa memiliki slogan "Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa".

Apa yang menjadi inti perjuangan Gerakan Djawa Dipa tercermin pada tingkah laku Wisanggeni. Sang putra Arjuna itu merupakan lambang perjuangan atas kesetaraan-keadilan, bentuk lugu yang tidak memiliki kepentingan apapun, selain memang berkorban bagi kepentingan bersama. Filosofi itulah yang tentunya harus diajarkan kepada orang-orang, anggota-anggota pergerakan, agen-agen perubahan. Juga keputusan sadar untuk menerapkan perasaan ikhlas tanpa pamrih. Itulah sebaik-baik gerakan.

Orang-Orang Kalah

Kita berpindah dari satu kekalahan, menuju kekalahan berikutnya. Kekalahan adalah makanan kita sehari-hari. Satu kemenangan hanyalah jeda dari kekalahan selanjutnya. Kalah berarti tidak menang, kehilangan, merugi, tidak lulus, kekurangan, tidak besar, tidak kuat, atau semua kondisi, yang menyebabkan kita harus menerima tidak tercapainya ekspektasi-ekspektasi kita, tidak terwujudnya harapan-harapan kita, tidak terpenuhinya semua rencana, yang sudah disusun dengan baik. Kalah, tentu saja, juga bisa berarti posisi belum melakukan apapun. Hanya sebuah kondisi yang kita pilih, untuk kemenangan yang lebih besar di kemudian hari, seperti yang sudah saya jelaskan pada bab sebelumnya.

Kenyataan pahit yang mengiringi sebuah kekalahan, tentunya akan menguatkan kita. Satu per satu hikmah akan bermunculan. Dalam konteks sebuah gerakan, kekalahan itu bisa berupa tak lagi adanya semangat berjuang di dalam internal komunitas. Bila bercerita tentang Gerakan Djawa Dipa, gerakan tersebut hanya bertahan selama 5 tahun. Digagas pada tahun 1917, dan harus 'mati' di tahun 1922, ditandai dengan tak lagi menerbitkan buletin gerakan. 

Djawa Dipa, yang hanya bertahan sampai tahun kelima, mengingatkan kita tentang kisah Abimanyu yang kalah di medan perang Batarayudha. Tentara Kurawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai pemuda itu jatuh dari kudanya dan terjerembap ke tanah, lukanya arang kranjang (banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya. Ia tak mampu lagi bergerak. Dan mati muda di tengah formasi perang Kurawa. Begitulah wayang yang related dengan gerakan Djawa Dipa.

Apa yang terjadi pada Djawa Dipa tidak menutup kemungkinan akan dirasakan oleh gerakan-gerakan lain, apalagi jika semua yang sudah dituliskan di atas, atau langkah-langkah yang lain, tidak dilakukan oleh para pemimpin gerakan. Ya, memang, waktu yang akan menjawab. Waktu juga seperti pedang, akan menebas siapa pun yang tidak dapat bertahan. Tetapi juga dapat menyatukan lebih lekat orang-orang yang telah mengerti hakikat sebuah gerakan.

Kekalahan pun juga dapat kita lihat dalam skala nasional, lewat pesta demokrasi yang telah kita lalui di bulan februari lalu. Demokrasi dan budi pekerti yang telah kalah oleh berbagai macam kecurangan dan tipu muslihat. Namun kondisi ini menciptakan dua kutub, persimpangan jalan, yang sangat bertolak belakang. Bagi pihak yang kalah secara terhormat, ia telah memenangkan keadilan, demokrasi, akal sehat, nilai-nilai luhur. Bagi pihak yang menang dengan cara-cara yang tak bermartabat dan tak beretika, sejatinya ia telah mengalahkan dan mematikan keadilan, demokrasi, akal sehat, dan nilai-nilai luhur.

Lalu muncul pertanyaan, apakah kekalahan dan kemenangan itu telah disiapkan, by design? Seperti kisah Bambang Ekalaya, seorang ksatria yang harus mati akibat skenario dunia pewayangan.

Alkisah, Bambang Ekalaya mendatangi Astinapura untuk menantang Arjuna. Ada asap, ada api. Tantangan hidup atau mati itu disebabkan oleh kelancangan Arjuna kepada istri Ekalaya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia tidak akan rela jika istrinya dilecehkan dan digoda oleh pria lain. Bahkan jika dia seorang Pandawa sekalipun. Bambang Ekalaya adalah seorang ksatria yang sangat kuat dan terlatih sehingga ia percaya diri untuk menantang Arjuna.

Kacap kacarita, duel itu berlangsung sengit dan Arjuna mati di tangan Ekalaya. Sri Kresna yang tahu kejadian itu, tidak tinggal diam. Arjuna adalah salah satu prajurit yang akan berperang di pertempuran hebat Batarayudha, sehingga ia tak boleh mati terlebih dahulu sebelum perang itu dimulai. Maka Sri Kresna menghidupkan Arjuna alias Janaka tersebut. Ditambah, Sri Kresna berniat membunuh Ekalaya, supaya ia tak lagi dapat mengancam Arjuna. Sang jelmaan dewa itu mengetahui bahwa Bambang Ekalaya selama ini berguru kepada patung Durna yang ia buat sendiri. Sehingga Sri Kresna membuat tipu muslihat, dengan menyamar sebagai patung sang guru. Hingga ia dapat membunuh Bambang Ekalaya.

Petaka yang terjadi kepada Bambang Ekalaya, sehingga ia harus mati demi skenario Batarayudha, sedikit banyak menjadi lamunan saya. Apakah memang di dalam kehidupan ini, yang namanya konspirasi itu memang ada? Terdapat tangan-tangan yang tak terlihat, yang menjalankan segala cara, bahkan yang tercela sekalipun, supaya tujuannya dapat tercapai. Mengorbankan banyak hal. Termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Entahlah. 

Kekalahan Bambang Ekalaya, tidak bisa hanya menjadi angin lalu, tetapi harus menjadi sebuah pengingat bahwa integritas, harga diri, dedikasi itu harus dibawa sampai mati. Serta konsekuensinya juga, kita tidak bisa menghalang gerakan-gerakan perubahan yang muncul akibat kecurangan dan ketidakadilan yang diperlihatkan secara gamblang itu.

Setelah 'pengorbanan' Bambang Ekalaya, lalu kita berpindah kepada wayang yang menjadi topik tulisan ini, yaitu Wisanggeni. Ia pun kalah di dalam kehidupannya. Berdasarkan skenario wayang, meskipun ia sangat kuat dan sakti, sampai-sampai pernah mengobrak-abrik kahyangan, ia tidak diperbolehkan mengikuti perang Batarayudha. Diramalkan apabila ia ikut perang, kubu Pandawa malah akan mengalami kekalahan. Sehingga ia berkorban dengan melaksanakan moksa. Hilang dari bumi nuswantoro, demi kemenangan tentara Pandawa. Ia memilih untuk kalah, demi kemenangan yang lebih besar. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang mengantarkan kepada perubahan dunia pewayangan.


Kemerdekaan Agen-Agen Perubahan

“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri,” ujar Pramoedya Ananta Toer. 

Saya membayangkan bagaimana jadinya jika seorang agen perubahan tidak memiliki kemerdekaan atas pemikirannya sendiri, tidak memiliki kebebasan bersikap, malah lebih memilih untuk tunduk kepada arahan-arahan atasan. Apa yang dapat diubah apabila memiliki mental seperti itu? Seorang agen perubahan harus memiliki kesadaran utuh bahwa perannya yang amat sangat penting itu, harus dimulai dari kemerdekaan diri sendiri, sehingga dapat melahirkan banyak action yang memiliki dampak, mempunyai pengaruh.

Apabila agen perubahan berada di dalam sebuah komunitas, saran saya, seperti yang telah kita bahas bersama, alangkah baiknya memiliki 4 kesadaran berikut:

  1. duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,
  2. eksekutor program seharusnya orang yang punya ide,
  3. lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang,
  4. keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan.

Dengan begitu, selain merdeka, agen-agen perubahan juga memiliki value compass yang akan mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan. Karena sekali lagi, sebuah gerakan itu berbeda dengan organisasi lainnya, sebuah gerakan menekankan kepada rasa saling memiliki antar anggota dan nilai-nilai yang diusung.

Agen-agen perubahan juga dapat belajar dari kisah-kisah pewayangan jawa. Dengan mencari nilai-nilai filosofis yang memiliki korelasi dengan berjalannya roda organisasi. Menyambungkannya dengan nilai-nilai (core value) yang dibawa. Dalam hal ini, agen-agen perubahan dapat memilih siapa tokoh wayang yang memiliki kesamaan pandangan, sifat, dan gagasan. Apakah Abimanyu, Ekalaya, Karna, Sengkuni, atau yang lainnya. Tidak ada batasan. Pilihan-pilihan itu menggambarkan kebebasan yang telah direbut. Kemerdekaan berpikir dan bertindak yang telah diraih.

Sebagai kesimpulan, tulisan ini menawarkan kepada semua agen perubahan untuk dapat menjadi Agent of Wisanggeni (AoW), yang ringan tangan, apa adanya, rela berkorban, dan yang terpenting siap kalah untuk kemenangan yang lebih besar. Bersedia menjadi "bahan bakar" supaya semangat perubahan itu tetap menyala seperti api.

Jumat, 08 Maret 2024

Hakikat Rapat Satu Jam

Rapat Satu Jam


Standardisasi rapat satu jam bukan semata-mata tentang pembatasan durasi, melainkan bagaimana sebuat rapat dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta mendapatkan hasil sesuai tujuan diadakannya rapat tersebut. 

Saat pertama kali mengetahui informasi tentang anjuran "rapat satu jam" via broadcast e-mail perusahaan di akhir tahun 2023, dengan mengernyitkan dahi, saya bagikan screenshoot-nya ke WA Group rekan-rekan angkatan, dan menambahkan tulisan "kalo bisa". Kernyitan dahi yang muncul bukanlah sebuah sikap skeptis atau penolakan atas anjuran itu, malahan sebuah bentuk persetujuan. Tulisan "kalo bisa" lebih bernada dan kesan positif, alih-alih sindiran.

Respon saya itu lebih ke pertanyaan: mengapa hal yang sangat 'sepele' sampai harus dianjurkan pada level korporat; mengapa anjuran tersebut sampai harus 'ada', yang merupakan konsekuensi bahwa semangat rapat yang efisien dan efektif ternyata belum menjadi kesadaran bersama, apalagi di era yang menuntut kecepatan ini. Bahkan pada akhirnya program "Rapat Satu Jam" menjadi salah satu program yang wajib ada, menjadi bagian, dan dibudayakan oleh Agent of Change (AoC).

Lalu, mengapa saya menilai anjuran rapat satu jam adalah hal yang 'sepele'? Mungkin karena apa yang menjadi semangat program itu, sudah saya terapkan selama ini. Saya bersyukur telah lama menyadari bahwa rapat merupakan waktu dan tempat dibuatnya dan disepakatinya keputusan-keputusan, bukan saatnya melakukan brainstorming. Kegiatan berpikir keras (brainstorming) itulah yang menjadikan durasi rapat lama, lebih dari satu jam. Kesadaran ini layaknya sebuah kristal dari ribuan kali rapat yang telah saya ikuti sejak SMA.

Keterlibatan di organisasi SMA dan masa kuliah serta saat berada di kampung (karang taruna dan remaja masjid), belum lagi kepanitiaan-kepanitiaan yang diikuti, menjadikan rapat, meeting, syuro, gumbul, atau istilah lainnya tentang "berkumpul bersama untuk membahas sesuatu", menjadi makanan sehari-hari. Setiap rapat selalu memberikan satu pelajaran berharga. Setiap pelajaran tersebut dijadikan kliping hingga menjadi buku panduan hidup. Buku panduan yang Alhamdulillah amat sangat relevan dijadikan how-to dalam mengadakan rapat selama di dunia profesional.

Akhirnya, mengapa saya begitu 'pede' membahasnya? Apa yang ditawarkan kepada para pembaca yang budiman? Tidak ada yang lebih dari sekadar hikmah. Seperti tagline blog ini, yang merupakan inti sari dari banyak kata-kata bijak. Bahwa hikmah ibarat barang hilang, yang sesiapa harus mengambilnya seketika itu juga. Hikmah juga adalah harta karun, yang harus dicari dan ditemukan. Sehingga, guna menyukseskan program rapat satu jam, berikut ini hal-hal yang harus dibiasakan supaya menjadi kesadaran kolektif. Dengan harapan produktivitas kita dapat meningkat.

Pra Meeting

"Rapat" tidak hanya terdiri dari satu kegiatan. Tidak hanya tentang rapat itu sendiri. Sebelum rapat harus ada persiapan. Setelah rapat harus ada tindak lanjut. Sehingga rapat dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pra-meeting, meeting, dan pasca-meeting.

Pemahaman ini sudah saya miliki sejak menjadi Direktur BPM (Badan Pelaksana Mentoring) saat mahasiswa. Bagaimana saya harus menyiapkan apa saja yang akan dibahas saat rapat. Hal ini karena rapat organisasi mahasiswa biasanya diadakan selepas jam kuliah, setelah ashar, sekitar pukul 4 sore, terkadang juga dilanjutkan setelah sholat maghrib. Sehingga, bagi staf-staf kami, yang sudah kuliah seharian, rapat menjadi hal yang sangat menjenuhkan dan membosankan. Maka dari itu, perlu adanya persiapan materi rapat: outline pembahasan, usulan, dan target tindak lanjut, untuk menjamin bahwa rapat tidak ngelantur, ngomong ngalur-ngidul.

Persiapan dilakukan juga semata-mata agar rapat tak banyak menghabiskan waktu untuk berpikir (brainstorming) hal tak perlu. Diskusi dan perdebatan langsung membahas substansi dari apa yang telah disiapkan. Kegiatan menyiapkan materi rapat juga dibiasakan kepada seluruh anggota BPM, sehingga rapat menjadi ajang memutuskan materi siapa yang akan digunakan dan ditindaklanjuti. Persiapan materi juga dapat mengantisipasi apabila staf-staf sudah begitu lelah sampai-sampai tak punya semangat berpikir, sehingga bisa langsung menyetujui materi yang sudah saya siapkan (Groupthink). Rapat menjadi ajang kesepakatan dibuat bersama, bukan sepihak.

Karena sudah menjadi kebiasaan saat mahasiswa dan berkomunitas di kampung, kegiatan menyiapkan materi rapat juga saya lakukan di dalam pekerjaan. Tak hanya baru-baru ini, ketika berada di kantor pusat Jakarta, kebiasaan itu dimulai pertama kali ketika masih ditempatkan di kantor Surabaya dulu. Caranya yaitu membuat draf notula rapat (NR), yang berisi hal-hal yang dibahas, pertanyaan yang perlu dikonfirmasi, dan informasi-informasi berkaitan tentang rapat tersebut. Syukurnya template draf NR yang digunakan juga masih sama sampai sekarang. Notula rapat yang memuat kolom pembahasan, tindak lanjut, penanggung jawab, dan target waktu.

Momen yang lucu yaitu ketika beberapa kali saya mendapatkan sindiran "belum meeting koq sudah ada NR-nya". Malah menurut saya, draft NR harus sudah dibuat, sehingga ketika rapat selesai, NR sudah siap untuk didistribusikan, syukur-syukur sudah disahkan saat itu juga. Selain itu, NR yang sudah berisi poin-poin pembahasan rapat akan menjadi semacam guideline bagaimana rapat berjalan. Sehingga pembahasan tidak melebar ke topik lain di luar tujuan rapat. Rapat menjadi lebih efektif dan efisien, tepat sasaran.

Selain menyiapkan draf NR, hal yang saya biasakan untuk dilakukan sebelum memimpin sebuah rapat adalah membuat file presentasi, sebagai materi briefing. File presentasi disampaikan di awal, sebagai pembukaan rapat, yang memuat informasi-informasi penting, yang bertujuan untuk memberitahu peserta rapat, apa yang sebenarnya ingin dibahas, apa yang ingin dituju, mungkin kendala-kendala, latar belakang, dan usulan (target rapat). File presentasi juga berisi peran dari masing-masing peserta rapat. Intinya, file presentasi untuk menyamakan sudut pandang, ruang pandang, volume pandang peserta rapat. Idealnya, file presentasi ini saya lampirkan saat mengirimkan undangan rapat ke para peserta, tetapi terkadang file baru selesai dibuat sebelum rapat dimulai.

Hal-hal di atas dilakukan apabila saya yang kebetulan mengundang dan memimpin rapat. Namun, jika hanya menjadi peserta. Biasanya yang dilakukan adalah menghubungi orang yang mengundang, guna menanyakan kira-kira apa yang akan dibahas, tujuan yang ingin dicapai, dan dokumen atau data yang perlu disiapkan. Semua persiapan guna menjamin proses rapat menjadi lebih hidup.

Setelah persiapan yang baik (well-prepared), kualitas rapat insya Allah menjadi meningkat. Sebab semua orang tahu apa yang benar-benar dibahas. Peran masing-masing juga semakin ada. Bagi siapa yang sepertinya tidak akan memberikan kontribusi kepada jalannya rapat, dapat undur diri dan mengerjakan hal-hal yang lebih penting. Bukankah ini bentuk rapat para profesional?

Rapat Satu Jam


Proses Meeting

Entah mengapa saya masih ingat salah satu momen syuro (rapat) kerja kerohanian islam (rohis) dulu, saat salah seorang ketua departemen menyampaikan materi departemen yang ia pimpin. Apa yang disampaikan begitu progresif. Ketika saya dan ketua departemen lainnya menyampaikan materi rapat dengan struktur SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) untuk pemaparan analisa yang dibuat. Teman saya yang satu ini menyampaikan materinya menggunakan pendekatan kendala-solusi.

Pemaparan SWOT 'tidak' akan mendapatkan apa pun sebagai hasil rapat, selain hanya merupakan penyampaian awal apa yang telah ditemukan (found). Padahal yang terpenting, setelah menemukan, adalah menyelesaikan permasalahan (solving). Maka dari itu, bagi saya yang semester 5 ketika memimpin BPM, dibuat sangat terkesan dengan pendekatan kendala (problem) dan solusi (solution). Pelajaran berharga tersebut tak lupa saya kliping di dalam memori. Dan ternyata di pekerjaan saat ini pun, framework yang digunakan saat rapat berorientasi kepada tindak lanjut (follow up) atas solusi pembahasan, yang terdiri apa tindak lanjutnya (what), siapa yang bertanggung jawab (who), dan kapan targetnya (when). Semua itu tertuang dalam notula rapat.

Framework di atas tampak sangat baik dan rapi. Namun, tidak akan berarti apa pun bila proses rapat tidak berkualitas. Selain pentingnya mempersiapkan rapat, memastikan rapat berjalan dengan baik, juga menjadi tantangan tersendiri. Pemimpin rapat harus bisa mengarahkan pembahasan ke arah tujuan. Tak boleh membiarkan diskusi menjadi tidak produktif dan di luar agenda rapat. Salah satu pegangan bagi pemimpin rapat dalam mengampu ialah draf NR atau file presentasi yang sudah dibuat. Apabila tak ada, minimal sudah memiliki poin-poin yang akan dibahas, di buku catatan. Hal ini yang juga sering saya lakukan. Menyiapkan buku catatan untuk dicorat-coret, yang sebelumnya sudah berisi outline pembahasan.

Proses moderasi rapat yang sudah lama tidak saya lakukan, apalagi memasuki era online meeting adalah membuat mind-map. Ketika memimpin rapat BPM, salah satu inovasi yang saya lakukan ialah membuat catatan-catatan pembahasan rapat dengan mind-map yang ditulis di papan tulis. Setiap lingkaran/bulatan berisi poin-poin pembahasan, korelasi garis merupakan penanda rincian atau subtopik pembahasan. Mind-map ini sangat bermanfaat untuk melihat mana topik yang perlu didetailkan, mana item yang harus diperinci. Selain itu mind-map yang berbentuk gambar memudahkan pemahaman oleh peserta rapat. Inovasi-inovasi seperti itulah yang harus dipersiapkan oleh siapapun yang memimpin rapat. Khususnya setelah diterapkannya program rapat satu jam.

Pemahaman bahwa peran pemimpin rapat sangatlah penting, seyogianya menjadikan kita untuk terus melakukan improvement. Rapat hari ini harus lebih baik daripada rapat kemarin. Hal-hal dasar yang perlu dilakukan oleh pemimpin rapat, sebagai bare minimum, ialah: pertama, memulai rapat tepat waktu dan menginformasikan kepada peserta berapa lama waktu menunggu apabila kuorum belum tercapai (misalkan 5 menit). Memulai rapat tepat waktu walaupun belum banyak peserta yang hadir, sebenarnya bentuk penghargaan bagi orang-orang yang datang tepat waktu. Tentu saja ini yang sudah saya biasakan ketika mengikuti rapat, baik di rohis maupun di himpunan mahasiswa (hima).

Saya ingat, untuk membudayakan rapat tepat waktu ini, ketua departemen (kadep) hubungan masyarakat hima saya waktu itu memberlakukan jam mulai rapat yang unik. Biasanya rapat dimulai di jam-jam yang genap, misalkan pukul 15.00, 16.30, dan seterusnya. Tetapi, Mbak kadep saya ini selalu memberikan waktu rapat di undangan, dengan jam-jam yang tidak biasa, contohnya mulai rapat pada 15.16, 16.04, dan seterusnya. Yang mana jam mulai rapat itu biasanya disesuaikan dengan tanggal atau angka-angka tertentu. Tentu saja ini tidak lazim, tetapi merupakan suatu inovasi untuk perubahan yang lebih baik.

Kedua, hal yang harus dilakukan pemimpin rapat, ialah meminta pendapat semua peserta rapat. Memberikan kesempatan semua orang untuk dapat berbicara, menyampaikan gagasan atau pandangannya, merupakan inti dari rapat. Mengulang apa yang sudah saya tuliskan di atas, rapat adalah ajang untuk menyepakati bersama-sama, bukan sepihak. Sehingga semua orang berhak berbicara. Pendekatan seorang pemimpin pun dengan telinga yang siap mendengarkan, tak hanya formalitas meminta saran, tetapi sudah siap mendebat. Kekurangan dari manusia Indonesia ialah slalu mendengarkan untuk menjawab, bukan untuk memahami.

Ketiga, memastikan bahwa semua peserta rapat memahami goal dari pembahasan. Memang ini bagian tersulit dari peran seorang pemimpin rapat. Tapi kita harus mengingat bahwa suara moderator atau pemimpin rapat biasanya menjadi rujukan bagi semua yang ikut. Sehingga kita harus percaya diri, untuk dapat menyimpulkan, mengonfirmasi pemahaman peserta, dan mengomando jalannya rapat. Terlebih-lebih pula, saat ini 90% rapat dilakukan secara daring. Sumber suara hanya akan ada satu dalam satu waktu, tidak mungkin dua orang berbicara pada waktu yang bersamaan.

Sekali lagi, sebab program rapat satu jam merupakan semangat bersama, kita harus bisa melakukan adaptasi dan berinovasi. Tak hanya inovasi terkait substansi pembahasan, tetapi juga pembaruan cara, proses, metode rapat. Pasti akan muncul sebuah kesadaran bahwa rapat satu jam dapat menjadikan produktivitas meningkat. Sehingga semuanya akan mengusahakan yang terbaik. Tentu saja saat menulis ini, semua momen rapat bersama BPM muncul di kepala, apalagi saat itu saya menaruh perasaan kepada sang sekretaris direktur (sekdir). Akibatnya setiap rapat BPM selalu saya pimpin dengan berkharisma.

Pasca Meeting

Setelah mengetahui bahwa persiapan rapat itu baik, lalu proses menjalankannya juga harus teratur dan disiplin, hal ketiga yang tak kalah penting adalah pasca meeting. Apa yang harus dilakukan setelah mendapatkan hasil rapat. Bagaimana notulen rapat yang sudah disepakati dapat terlaksana sesuai rencana. Kebanyakan rapat tidak pernah berfokus pada tindak lanjut NR, sehingga rapat menjadi kering substansi. Buat apa rapat berjam-jam, kalau tidak dilakukan followup? Oleh sebab itu, peran pemimpin rapat tidak selesai setelah rapat diakhiri, pemimpin rapat harus berkoordinasi dengan para pemimpin fungsi dan pihak terkait guna melakukan monitoring hasil rapat.

Kalau saya pribadi, biasanya setelah mendapatkan NR, akan membuat to-do list yang lebih sederhana untuk dibagikan ke penanggungjawab masing-masing item NR, melalui pesan Whatsapp. Fitur WA saat ini sangat mendukung kerja profesional, to-do list hasil rapat dapat kita masukkan ke dalam deskripsi grup atau disematkan dengan fitur pinned. Monitoring berkala adalah kunci post meeting yang bagus.

Untuk rapat-rapat rutin, contohnya yang dilakukan di fungsi saya yang sekarang, yaitu rapat bulanan koordinator customer services. Setiap awal rapat selalu dibuka dengan pengecekan notulen rapat sebelumnya, diurut dari nomor satu, bagaimana update dari item NR tersebut. Mana yang sudah dilaksanakan dengan penuh, mana yang masih parsial, atau mana yang belum terlaksana sama sekali. Pembahasan NR sebelumnya terbukti menjadikan semua peserta rapat menjadi lebih awas dalam melakukan monitoring, karena tahu bahwa rapat selanjutnya pasti akan membahas pending item. Semua peserta rapat berasa tidak enak apabila terdapat item-item yang menjadi tugasnya, yang belum terlaksana.

Inti dari semua proses ini adalah pembiasaan, mungkin awalnya harus dipaksakan dan mendapatkan natural denial, tetapi lama-lama akan menjadi kesadaran dan malah menjadi syarat wajib bagi proses rapat yang akan diikuti.

Rapat Satu Jam



Hakikat Rapat

Setelah memaparkan apa yang telah saya lakukan selama ini dalam mengagendakan rapat, bagi para pembaca yang budiman, mungkin ada yang berpikir, bahwa beberapa yang saya tuliskan, atau mungkin semuanya, adalah hal yang biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Merupakan kegiatan yang juga biasa dilakukan oleh orang-orang. Ya, boleh saya, toh ide itu tidak pernah bisa diklaim oleh satu orang. Ide itu magis, ia bisa hinggap di banyak orang sekaligus. Apalagi mungkin ada beberapa item yang ternyata juga muncul di tutorial program rapat satu jam. Tentu saja itu hal yang mungkin saja terjadi. Karena memang rapat efektif dan efisien sepatutnya sudah menjadi kebiasaan semua orang profesional. Tanpa harus dipaksa untuk standardisasi terlebih dahulu.

Tetapi, bagaimanapun juga, terkadang durasi rapat yang lama bukan semata-mata sebab kurang efektif, melainkan karena memang kebersamaan saat rapat yang nyaman, fun, dan seru membuat rapat harus berlama-lama. Kapan lagi bisa bercanda bersama dengan orang-orang terkasih. Sehingga, hakikat rapat itu dinamis. Dan tergantung tujuan dari rapat yang dilakukan. Bisa cepat, bisa lama. Bisa seru, bisa membosankan. Bisa fleksibel, bisa kaku.

Semoga dengan adanya standardisasi waktu rapat yang satu jam ini, kita semua memiliki lebih banyak waktu luang dalam memikirkan diri sendiri, bukan bentuk egois, melainkan untuk muhasabah diri.

Sabtu, 10 Februari 2024

Memenangkan Indonesia

Sang Pendidik


Ingatan saya melambung ke momen 13 tahun yang lalu, pada tahun 2011, di sebuah taman di Surabaya, saat sesi Forum Group Discussion bersama para "guru" dan "murid" Sekolah Peradaban (SP) BEM ITS. Salah satu guru SP, (maaf, Mbak, saya lupa nama Mbak) berpendapat bahwa pemimpin terbaik adalah seorang wanita (ibu). Di usia itu, saya meragukan pendapatnya.

Sehingga pernyataan Mbak BEM ITS itu menjadi oleh-oleh untuk dibawa pulang, untuk saya renungkan di hari-hari berikutnya. Lalu akhir-akhir ini, ketika kenangan itu muncul lagi, saya mendapatkan hikmah dari kata-kata tersebut. Terlepas apa maksud asli dari kalimat Mbak BEM, menurut saya: wanita tidak boleh hanya dipandang sebagai seorang makmum yang tidak mungkin bisa menjadi imam, melainkan harus dilihat juga sebagai madrasah pertama bagi anaknya. Al ummu madrasatul ula. Jadi, wanita dapat menjadi pemimpin terbaik, sebab bakat alaminya dalam mendidik. Ini adalah penghargaan tertinggi bagi seorang wanita.

Lalu, mengutip ucapan salah seorang yang bijak, "Seorang pemimpin itu nature-nya adalah pendidik. Dan seorang pendidik itu nature-nya adalah pemimpin." Kita tahu Ir. Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Jenderal Sudirman, dan para pemimpin negeri ini adalah seorang pendidik. Jadi, memang benar bahwa pemimpin terbaik ialah yang mendedikasikan hidupnya untuk mendidik. Atau seperti yang disampaikan oleh Mbak di atas, pemimpin terbaik adalah seorang yang selembut, penyayang, welas asih, seperti seorang ibu. Maka kemampuan mendidik tidak bisa disepelekan dalam hal kepemimpinan.

Tentu saja kita bisa mengamini pernyataan tersebut, kita bisa melihat orang-orang yang selama ini kita jadikan panutan, mungkin bapak-ibu manager di kantor, ketua organisasi kampus, atau bahkan ketua RW di kampung, mereka semua menjadi pemimpin terbaik bagi kita, karena juga dapat memberikan pelajaran dan hikmah. Baik melalui lisan maupun perbuatan, teladan. Apabila terdapat seorang pemimpin, yang tutur katanya baik, mengayomi, mengedepankan keadilan-kesetaraan, apalagi berorientasi kepada pendidikan, maka otomatis kita akan memberikannya nilai 100. Semua itu (lagi-lagi) karena seorang pendidik, adalah orang yang bertindak menggunakan hati. Hati satu dengan yang lainnya akan mudah terhubung. Hakikatnya seperti itu.

Sehingga, dalam skala yang lebih luas, tingkat nasional misalnya, kita memerlukan seorang pemimpin yang juga menjadi kompas, mercusuar, membawa kemana bangsa ini akan menuju. Kalau saya pribadi, akan menjadikan parameter siapa yang bisa menjadikan negara "a learning nation" dan membawa pendidikan menjadi perhatian utama untuk memajukan bangsa. Tentu hal ini juga akan menjadi pertimbangan bagi siapa saja, bagi ayah, bagi ibu, yang ingin melihat anak-cucunya mempunyai pemimpin yang shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan amanah), dan fathonah (cerdas). Bangga dengan para pemimpin yang fotonya dipajang di ruang-ruang kelas sekolah.

Lalu, selain harapan yang kita sandarkan kepada para pemimpin, kita juga bisa terus menyuarakan gagasan tentang pentingnya pendidikan. Mungkin dengan hal-hal sederhana, seperti berkontribusi pada donasi buku-buku bacaan. Mengapa buku? Ya karena, meskipun dengan terbuka-lebarnya informasi di internet, kita tidak bisa memungkiri bahwa buku masih menjadi sarana utama pendidikan. Apalagi faktanya bahwa tidak semua anak Indonesia mendapatkan akses buku yang sama. Fasilitas perpustakan dan taman baca di desa-desa tidak selengkap yang ada di kota. Harga buku di jawa dan di luar jawa juga memiliki perbedaan yang sangat besar.

Matano Membaca

Berbicara terkait donasi buku, pada tahun 2016, kami, BPM Brotherhood berkesempatan untuk dapat berkontribusi bagi negeri. Bekerjasama dengan Patriot Energi di daerah Matano, kami menggagas program "Matano Membaca". Sebuah program untuk menyalurkan buku-buku bagi anak-anak di desa sekitar Danau Matano, Sorowako, Sulawesi Selatan. Tentunya pengalaman berharga tersebut menjadikan saya dan teman-teman di BPM Brotherhood menjadi semakin aware kepada pendidikan. Bahkan, jujur, ketika lulus kuliah, saya sempat berpikiran untuk mendaftar sebagai seorang Pengajar Muda (PM), istilah para guru yang dikirimkan ke pelosok-pelosok negeri, di desa-desa terpencil, pada program Gerakan Indonesia Mengajar (GIM). Tapi sayangnya tidak kesampaian.

Masih related dengan buku, saya mempunyai novel-novel rekomendasi kepada para pembaca budiman. Novel pertama, yaitu novel karya Andrea Hirata, berjudul "Guru Aini". Sebuah kisah yang akan menginspirasi, tentang seorang guru yang tidak berputus asa dalam mengajar seorang anak didik supaya bisa ahli dalam pelajaran matematika. Selanjutnya ada novel terjemahan dari Jepang, "Dua Belas Pasang Mata" karya Sakae Tsuboi. Menceritakan seorang guru yang harus bersepeda puluhan kilo untuk sampai ke sekolah, tidak diterima oleh para orangtua murid, dan rintangan lainnya. Novel ketiga, yaitu "The Rent Collector" atau "Sang Penagih Sewa", ditulis oleh Camron Wright. Novel yang mengisahkan sebuah keluarga kecil yang tinggal di dalam tempat pembuangan sampah. Sang ibu memiliki kesadaran bahwa harus belajar baca-tulis supaya dapat mendidik anaknya agar menjadi orang yang sukses.

Kesimpulannya, inti dari pembahasan perihal pendidikan ini adalah untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Meritokrasi

n. sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya

Bagi insan-insan terdidik yang diberikan akal dan kecerdasan, ada baiknya kita memiliki critical thinking. Berinteraksi di media sosial tidak dengan lugu, tak menelan mentah-mentah semua konten yang muncul di timeline, di beranda, di FYP, di Reels kita. Jangan disetir oleh algoritma. Kita harus bisa memilih dan memilah informasi dengan baik. Tak melulu harus setuju dengan apa yang menjadi fanatisme kita. Mungkin saja dari berbagai gimmick yang muncul, terdapat banyak kemudharatan di belakangnya. Tentu kita akan merugi apabila ternyata hasilnya tidak sebaik yang kita bayangkan.

Algoritma tidak akan pilih kasih kepada siapa ia berjalan. Algoritma tetap algoritma. Bukankah jika kita berinteraksi dengan satu postingan, entah itu memberikan like atau komentar, atau reply, atau repost, maka media sosial kita akan dipenuhi rekomendasi postingan sejenis? Apa jadinya apabila yang muncul adalah informasi-informasi yang tidak benar dan bahkan penggiringan opini?

Berbicara terkait gimmick, sekarang kita banyak melihat bungkusnya saja yang menarik, tetapi secara substansi kosong. Padahal seharusnya kita mencari mana yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan bangsa dan negara. Ini seperti peribahasa jepang, 花より団子(Hana yori dango) yang memiliki makna "lebih baik sesuatu yang bermanfaat daripada yang indah dan enak dilihat."

Sehingga, usulannya adalah kita berpikir secara rasional dalam bermedia sosial. Apalagi jika kita menggunakan aplikasi itu untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin kita, menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Arti kata "rasional" versi KBBI: menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal. Dan bila kita preteli kata rasio, akan lebih mudah karena rasio berarti "hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip; perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan angka".

Ya, intinya berpikir rasional adalah melakukan perbandingan. Apa yang dibandingkan? Kompetensinya, prestasinya, rekam jejaknya, gagasan yang dibawa, cara berpikir, cara membuat keputusan, bagaimana menerima kritikan, bagaimana mengatasi permasalahan. Dan kita harus adil sejak dalam pikiran. Tak boleh melakukan cherry picking. Tapi, kembali lagi, ini hanyalah sebatas usulan.

Para pembaca yang budiman tentu memiliki pertimbangan sendiri dalam memilih pemimpin. Itu adalah hak setiap orang. Hal terpenting kita tidak menyesal, sebab penyesalan itu selalu ada di akhir.

Indonesia di Tanganmu!

Kita, para pemuda seharusnya membaca buku tulisan Prof. Dr. Subroto yang berjudul "Indonesia di Tanganmu!". Buku setebal 140-an halaman itu seakan-akan seperti wejangan seorang kakek kepada cucu-cucunya untuk menyambut Indonesia Raya 2045. Prof. Subroto menyampaikan pesan-pesan positif agar kita bisa memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa ini. Para pemuda, yang benar-benar memiliki sikap sebagai kalangan muda, yang kritis, visioner, membawa semangat perubahan, tidak hanya branding pemuda yang digaungkan, tetapi mendukung ketidakadilan dan kepentingan kelompok.

Di bagian epilog, Prof. Subroto menuliskan, "Ketika terompet kemerdekaan didengungkan, dan suaranya bergema ke seluruh negeri, kita sepenuhnya percaya, seperti yang dinyatakan dalam pembukaan UUD '45, bahwa perjuangan akan mengantar kita menuju ke pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Hingga sekarang, kita terus belajar dan berusaha. Berdoa dan bergandengan tangan agar terus bersatu, bekerja, dan berusaha agar bisa berdaulat, serta berpikir dan berjuang untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila."

Pesan di atas, menurut hemat saya, sudah cukup untuk dapat kita jadikan pegangan untuk memilih pemimpin di masa depan. Khususnya dalam pesta demokrasi pemilu tahun ini.

Jadi semoga kita dapat memilih dengan bijak, saya doakan. Juga kepada para panitia pemilu, semoga tetap semangat dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri tercinta ini, semoga terpilih dengan cara-cara yang bermartabat dan beretika. Sebab, betapapun berbedanya pilihan kita, saling berseberangannya pendapat kita, kita harus ingat bahwa yang terpenting, seperti mengutip istilah Gus Mus, adalah Memenangkan Indonesia.

Indonesia di Tanganmu