Apakah saat ini Anda berniat korupsi? Memiliki rencana untuk melakukan korupsi?
Tentu saja, tidak! Iya, toh?
Mungkin ada yang beralasan korupsi adalah perbuatan tercela, berdosa, merugikan banyak orang, dan sebagainya, sebagainya. Tetapi mungkin juga ada yang berpikiran, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dengan nilai uang yang besar --ratusan juta, miliaran, sampai triliuan, sedangkan kita (saat ini) tidak mungkin punya akses kepada uang sebesar itu. Gampangnya, belum punya "kesempatan" untuk melakukan korupsi.
Semoga alasan pertama yang menjadikan Anda dan saya tidak melakukan korupsi. Karena kita terlahir sebagai anak yang baik. Berita-berita tentang kegiatan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan membuat diri kita, yang baik ini, marah. Sebab korupsi tidak sesuai dengan fitrah kita yang bersih dan suci. Perbuatan itu kotor, hina, buruk.
Sampai sini, pikiran kita masih waras.
Tidak mungkin bangsa Indonesia, secara sadar akan melakukan tindakan korupsi. Anak-anak masih jujur mengerjakan soal-soal ujian. Pemuda-pemudinya masih amanah dalam berkarya. Orang-orang tua memberi panutan, agar tidak mengambil hak orang lain.
Tidak ada pungli dan uang terselip di dalam birokrasi kita. Apabila ada truk berisi muatan ikan, sayur mayur, minuman kaleng, terguling di tengah jalan, warga akan bergotong-royong membantu mengembalikan dan tidak akan mencurinya. Jika ada tas berisi uang ditemukan terjatuh di pinggir jalan, maka dengan cepat tas tersebut akan dilaporkan ke kantor polisi.
Tulisan yang Anda baca ini diniatkan menjaga optimisme itu tetap ada. Mencoba sebagai pemantik api harapan. Sebagai pembuktian bahwa bangsa ini jauh dari budaya korupsi.
Sekali lagi, apakah saat ini Anda berniat korupsi? Memiliki rencana untuk melakukan korupsi?
Mungkin belum, sehingga kita perlu, untuk terus-menerus, banyak meneladani orang-orang yang sampai tutup usianya tetap memegang teguh kejujuran dan integritas. Untuk menjaga "kewarasan nasional" kita. Salah satunya ialah Jenderal Hoegeng, seorang polisi dan menteri dan negarawan.
Dikisahkan, Hoegeng enggan menggunakan nama lengkapnya sebagai nama "resmi". Nama yang tertulis di mejanya atau yang tersemat di dadanya hanya "Hoegeng". Ia berdalih, nama lengkapnya terlalu berat baginya. Hoegeng Iman Santosa. "Iman Santosa berarti imannya selalu ada," ucapnya. "Padahal belum tentu Hoegeng masih mengamalkan iman sampai akhir hayat. Biarlah nanti Hoegeng pakai nama itu kalau sudah meninggal."
Teladan yang rendah hati itu meninggal dunia pada 14 Juli 2004. Kisahnya sebagai satu-satunya polisi jujur, seperti kelakar Gus Dur, seakan menjadi bukti bahwa iman Hoegeng selama hidupnya 'sentosa'. Sosok yang berintegritas itu berdamping dengan nama Bung Hatta. Sebagai ikon anti-korupsi. Sebagai simbol integritas. Sebagai pelita yang membawa optimisme, bagi negeri yang remang ini.
Memangnya, apa saja yang telah dilakukan Hoegeng, sehingga dia mendapatkan tempat di hati masyarakat sebagai polisi yang jujur?
Saat menjabat, Hoegeng tidak pernah mau menerima pemberian dari kontraktor. Contohnya ketika dia pindah rumah dinas. Saat mendapati di dalamnya telah diisi oleh banyak perabot, seperti meja, lemari, mesin cuci dari vendor, Hoegeng meminta semua barang tersebut dikeluarkan dari rumah. Apa jadinya kalau seorang pejabat menerima pemberian dari swasta, kontraktor, vendor? Bukankah jiwanya akan tergadai?
Selain itu, untuk menghindari konflik kepentingan, Hoegeng juga pernah menutup toko bunga yang pernah dibuka oleh sang istri. Ditakutkan, orang-orang dari pemerintahan akan membeli bunga dari tokonya tersebut untuk kegiatan yang dibiayai oleh negara. Betapa luar biasanya jika pejabat sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga ia tidak akan memanfaatkan jabatannya untuk menambah kekayaan!
Integritas Hoegeng tidak melulu pada hal-hal besar di pemerintahan, bahkan ia wujudkan pada hal-hal sederhana. Seperti saat bepergian, ia selalu membawa bekal makanan, lantaran pernah di suatu kesempatan keluarganya makan di sebuah restoran, ada orang yang membayari tagihan makan Hoegeng. Sehingga ia berpendapat bahwa pejabat negara tidak sepatutnya dibayari oleh rakyat untuk urusan pribadi. Pun, bagaimana jadinya jika orang yang membayari tersebut di kemudian hari meminta balas budi?
Kisah Hoegeng sudah banyak tertulis di buku-buku biografi, artikel-artikel, bacaan-bacaan. Nilai-nilai yang diyakininya dapat memberikan kita pemahaman bagaimana seharusnya seorang negarawan itu, bagaimana semestinya integritas dipegang erat, digigit dengan gigi geraham.
Dari Hoegeng pula kita belajar bahwa iman adalah pemandu hidup. Kepercayaan akan adanya Kuasa yang Maha Tinggi, yang Maha Melihat, bisa memandu kita untuk terus melakukan kebajikan. Dan menjaga keimanan juga merupakan hal yang tidak gampang. Keimanan itu naik turun, bisa saja pagi beriman, malamnya tidak. Isuk dele, sore tempe. Maka dibutuhkan upaya lebih untuk menjaga keimanan tetap tebal, tinggi, dalam.
Selain berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; menerapkan budaya saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran; kita bisa menambah keimanan dengan ilmu. Senantiasa belajar apa itu iman, apa itu korupsi, apa saja mudharat dari korupsi, apakah negara lain yang korupsi dipimpin oleh demagog atau fasis, belajar apa saja.
Terakhir kali, apakah saat ini Anda berniat korupsi? Memiliki rencana untuk melakukan korupsi?
Saya yakin tidak!
Seperti apa yang telah saya tuliskan di atas. Namun, kita masih punya satu pekerjaan rumah.
Yaitu memiliki pemimpin yang berintegritas, di semua level.
Kita masih merindukan pemimpin yang bisa kita jadikan panutan.
Pentingnya memiliki seorang pemimpin yang menjadi teladan nasional, yang tindak tanduknya sejalan dengan nilai-nilai yang diimani. Seorang negarawan yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, jauh dari konflik kepentingan. Mereka yang menjabat tidak untuk memperkaya diri sendiri. Bukan yang berteriak "negara ini besar" ternyata maksudnya adalah potensi sumber daya alam yang akan dikeruk untuk memuaskan dirinya dan kelompoknya.
Pemimpin yang jauh dari keinginan pribadi akan menjadi ikon dari perlawanan kita kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Memang kurang apalagi sejarah bangsa ini dalam menunjukkan kebobrokan otoritas pejabat negara? Korupsi, korupsi, korupsi, korupsi di segala lini kehidupan. Salah satunya disebabkan kita tidak memiliki pemimpin aktif yang bersih.
Kalau "pemimpin adalah cerminan rakyatnya", bukankah bangsa Indonesia yang tidak akan melakukan korupsi ini, juga seyogianya memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai kita? Apakah kita terus-terusan akan mengulang kesalahan yang sama? Salah memilih presiden, wakil rakyat, gubernur, walikota?
Kita sambut 2029 dengan pemahaman bahwa kita sepatutnya dipimpin oleh pemimpin, yang 11-12 dengan Hoegeng, ikon dari kejujuran dan integritas, karena Hoegeng adalah kita.
0 comments:
Posting Komentar