Setelah selesai mengerjakan soal-soal ujian nasional (UN) SMA, dengan rasa syukur yang memenuhi dada, saya berjalan menuju masjid sekolah. Meninggalkan berbagai opini dan anggapan teman-teman sekelas, teman-teman seangkatan yang lain. Toh, mereka juga tidak akan memedulikan opini dan anggapan saya tentang pelaksanaan UN, tentang pilihan mereka dalam mempersiapkannya.
Sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan UN di masa lalu dipenuhi dengan berbagai praktik (ekses) tak patut. Salah satunya, jual beli kunci jawaban. Kegiatan yang sepertinya diketahui oleh semua orang kalau perbuatan itu tercela, tidak jujur, tetapi tidak bisa dihindari. Memang tak mudah menghindarinya. Mayoritas teman SMA memilih sedikit berlaku curang, guna bisa berbahagia di waktu kelulusan. Lagi pula, kegiatan sontek-menyontek selama ujian dianggap hal yang lumrah, biasa terjadi di dalam dunia pendidikan (bagi sebagian dari mereka, kita).
Pertanyaanya, mengapa saya berbeda? Mengapa saya memilih untuk tidak membeli kunci jawaban, dan tetap teguh tidak berbagi dan saling bertukar jawaban selama ujian berlangsung? Sebuah keputusan yang sudah saya tetapkan sejak awal masuk SMA. Yaitu tidak akan berlaku curang di semua ujian, baik evaluasi bulanan, yang bersifat insidental, maupun semesteran, tengah & akhir semester. Sebisa mungkin semuanya.
Mungkin saja hal itu disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa di antaranya akan saya bahas pada esai ini. Sebagai hikmah dan iling-ilingan yang sepertinya sangat saya butuhkan saat ini.
Pertama, di kelas 3 SMP, praktik jual beli kunci jawaban pun telah ada. Beberapa teman SMP saya, yang memiliki akses ke penjualnya, "memanfaatkan kesempatan" tersebut. Dengan pikiran yang masih polos, dengan bangganya saya ikut membahas jawaban-jawaban yang dibagikan oleh teman-teman tersebut. Nomor satu jawabannya 'A', nomor dua 'B', dan seterusnya. Begitulah obrolan kami.
Setelah kegiatan UN SMP selesai, saya merasakan ketidaknyamanan di dalam dada. Apa yang akhirnya saya simpulkan, sesuai dengan hadis nabi, dosa akan menyebabkan hati gelisah. Perasaan tidak puas dan penyesalan. Juga perenungan tentang dampak dari ketidakjujuran tersebut di masa depan. Apakah setelah itu, semua tindak-tanduk masih dapat berkah? Ataukah, lantaran kelulusan yang dicederai kebohongan, setiap perbuatan akan jauh dari rido-Nya?
Hatta saya putuskan bertindak jujur selama ulangan, ujian yang menentukan hasil selanjutnya. Sebab, sesuai dengan tujuannya, apabila kita berhasil lulus, berarti kita memang telah layak naik level, bukan?
Kedua, memilih kerohanian Islam (rohis) sebagai kegiatan ekstrakurikuler selama SMA. Sepertinya memang berkelindan, keputusan untuk menjadi lebih baik dan menjadikan rohis kesibukan saat putih abu-abu. Ya, seperti kita ketahui, rohis identik tentang hal-hal yang bersifat "terpuji". Ber-amar makruf nahi mungkar. Dakwah Islam. Saling menasihati dalam kebaikan. Sebuah ekosistem dan environment yang mendukung kejujuran ketika pelaksanaan ujian.
Sampai pada akhirnya, rekan-rekan rohis memercayakan posisi ketua umum kepada saya. Sebuah amanah yang teramat berat untuk dipegang. Khususnya dalam hal keteladanan. Bagaimana saya, sebisa mungkin bisa menjaga muruah rohis, dan ujian itu muncul ketika memasuki semester 2 kelas 3 SMA. Teman-teman kelas mulai membahas kunci jawaban UN.
Dan saya berlepas diri dari mereka. Walaupun, harap dicatat, saya tidak pernah merasa lebih baik dari mereka, apalagi lebih alim, lebih bersih, lebih suci. Hanya ingin memenuhi komitmen yang sudah dibuat.
Ketiga, sebagai pemacu diri, yaitu cerita yang pernah disampaikan oleh Bapak. Sebuah cerita yang menelurkan perasaan bangga kepada beliau. Kisah yang membangkitkan rasa syukur karena kejujuran itu telah diwariskannya.
Kurang lebih begini ceritanya: sewaktu Bapak kelas 6 SD, saat akan masuk ke jenjang SMP, ketika beliau akan menghadapi ujian masuk salah satu sekolah negeri. Beliau diberitahu oleh ayahnya (Kakek saya), jika beliau tidak perlu repot-repot mengerjakan soal ujian, sebab Kakek sudah menyiapkan segala sesuatunya. Maksudnya, Kakek saya yang terbilang keluarga berpunya itu telah berkolusi dengan pihak sekolah untuk meloloskan Bapak. Tindakan tersebut tidak lain supaya semua anak Kakek bisa bersekolah dengan layak.
Namun, tentu saja pikiran Bapak berbeda. Beliau jelas menentang rencana itu. Lebih baik bersekolah di sekolah swasta daripada negeri tetapi dengan ketidakjujuran. Sehingga ia mengacau saat pelaksanaan tes masuk SMP. Dan hasilnya memang tidak jauh dari ekspektasi, beliau tidak lolos, menyebabkan (mau tidak mau) harus meneruskan di salah satu sekolah swasta.
Kejadian tersebut akhirnya menjadi pelajaran bagi Bapak dan Kakek, ketika kelas 3 SMP dan mengikuti ujian masuk SMK, Bapak berjanji akan mengerjakan soal dengan sebaik-baiknya. Ia yakin mampu lolos tanpa "bantuan" Kakek. Dan benar saja, sebuah hadiah raket tenis didapatkannya karena telah berhasil diterima di sebuah SMK Negeri dengan jujur.
Sewaktu mendengarkan ceritanya, saya hampir meneteskan air mata bangga. Kisahnya diceritakan pas kelas 3 SMA, setelah saya selama 2,5 tahun memilih "kejujuran". Inspirasi yang masih terkenang hingga sekarang.
Begitulah, orang tua sangat berperan dalam membentuk karakter seseorang. Bagi saya, tak hanya Bapak, Ibuk juga memiliki andil besar. Melalui keteladanan dan penanaman nilai-nilai Islam, tumbuhlah saya yang seperti sekarang. Doa terbaik untuk mereka berdua.
Kembali ke cerita awal esai ini. Apakah dengan kejujuran yang saya gigit dengan gigi geraham setengah mati itu, mengantarkan kepada kebahagiaan? Apakah saya lulus SMA sesuai dengan harapan?
Selepas pengumuman UN dan kelulusan SMA dan hasil SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) jalur undangan, setelah saya mengetahui bahwa: dinyatakan lulus SMA, nilai UN begitu pas-pasan, dan tidak diterima di kampus; saya menangis.
Air mata kekecewaan tidak tertahankan.
Apakah peribahasa wong jujur ajur--orang yang jujur akan hancur, itu benar?
Apakah pilihan saya untuk mengerjakan 100% soal UN secara mandiri itu sia-sia?
Apakah level saya memang hanya "sebatas" ini? Seorang siswa yang selama 3 tahun (6 semester) selalu mendapatkan ranking 1 di kelas, menjadi juara kelas, untuk tidak masuk ke daftar 10 besar nilai UN tertinggi di akhir SMA?
Air mata kekecewaan itu memang tidak bisa dibendung, tapi apakah saya menyerah?
Tidak!
Sore itu, saya menghubungi salah satu teman dan mengajaknya ke toko buku, untuk membeli buku-buku persiapan seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Saya bertekad akan masuk ke kampus negeri, dengan tetap menjaga kejujuran. Bukankah memang ujian sesungguhnya baru saja dimulai? Semua siswa mungkin bisa lolos UN, tetapi tidak semuanya akan berhasil masuk ke jenjang selanjutnya. Ada banyak pilihan tes masuk perguruan tinggi, begitu pula ada banyak yang tidak lolos.
Singkat cerita, saya diterima di salah satu politeknik negeri di kota kecil saya. Menjadi mahasiwa. Menyandang predikat sebagai seorang agen perubahan. Sebuah tapakan pertama menuju berbagai capaian di dalam hidup. Sebuah awalan dari banyak pengalaman yang saya tanam-panen hikmahnya. Sebuah langkah pertama, untuk berlari, mencapai berkilo-kilometer jalan panjang.
Dan tanpa ada penyesalan sedikit pun.
Apakah semua prestasi itu didapatkan masih dengan kejujuran? Tentu saja, semoga!
Bahkan jauh sebelum mengenal satu kata, sebagai pemandu dan penjaga, nilai itu sudah terinternalisasi di dalam diri.
Kata itu adalah: integritas!
Integritas itu berarti jujur dalam hal moral, kebaikan; utuh; mengatakan apa yang dilakukan, melakukan apa yang dikatakan. Baca esai lainnya bertema integritas: Integrasi Akal Sehat.
Saya merasakan kecocokan dengan kata ini, pas saat pertama kali menemukan hakikat maknanya. Mungkin saja karena selama tumbuh, selama pencarian jati diri, kejujuran-lah yang menjadi pelita. Sebuah penerang untuk melewati jalan remang, lebih-lebih gelap.
Kejujuran adalah pintu masuk ke dalam sebuah integritas. Integritas, saya yakin, merupakan salah satu kunci kebijaksanaan. Sebuah tujuan & cita-cita tertinggi yang ingin diraih. Sebab saya meyakini, surga dan pertemuan dengan-Nya nantinya akan dipenuhi dengan kebijaksanaan.
Maka, melalui tulisan ini, saya berdoa supaya integritas selalu menjadi penjaga. Penjaga diri dengan pekerjaan yang sekarang, di tengah-tengah kondisi negeri yang seperti ini, di waktu-waktu mendekati akhir zaman. Semoga dengan integritas, memastikan setiap langkah kita berada di jalan yang benar, meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Semoga! Lahaula wala quwwata illa billah hil aliyil adzim.
---
Catatan akhir:
Setelah lebih dari 10 tahun menyimpan kenangan tentang jual beli kunci jawaban UN, akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentangnya. Semata-mata saya ingin mengulas hikmah yang didapatkan dari momen itu hingga hari ini. Saya yakin, teman-teman SMA saya yang dulu membeli kunci jawaban UN, tidak ada maksud lain selain untuk membahagiakan kedua orang tua dengan lulus SMA. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Tetapi tidak akan pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan. Semua yang dulunya berbuat curang, bisa jadi sekarang menjadi orang yang sangat istiqomah menjalankan kebaikan-kebaikan, berbuat banyak manfaat bagi orang lain.
Mantaaab 🔥
BalasHapus