Sabtu, 24 Mei 2025

Sang Muazin

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar

Asyhadu allaa illaaha illallaah
Asyhadu allaa illaaha illallaah

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah

Lantunan azan subuh menggema, sang muazin membacakannya dengan merdu. Kumandangnya membangunkan Jakarta. Pasar Mencos telah riuh oleh ibu-ibu penjual sayur. Seorang pekerja kantoran sudah harus berangkat ke ibu kota dari rumahnya di Cileungsi. PPSU atau pasukan oranye bersiap-siap memenuhi tugasnya. Jutaan harapan kembali memenuhi udara. Pagi selalu membawa rasa magis. Ketika kau berjalan dengan air wudu yang masih membasahi muka, angin segar di waktu subuh akan menerka wajahmu, sebuah pengalaman yang sungguh tidak akan dapat digantikan oleh apa pun.

Rutinitas pagi dimulai dengan salat subuh. Bahkan bagi orang-orang yang beruntung, dengan salat 2 rakaat sebelum (qobliyah) subuh, seakan bisa mendapatkan dunia beserta segala isinya. Kalau kita mentadaburi hadis Rasulullah berkaitan dengan hal tersebut, bisa jadi tambahan 1-2 jam di pagi menambah keberkahan hidup kita. Kita mempunyai waktu lebih untuk menyiapkan aktivitas kita di hari itu. Memiliki ekstra menit, detak-detik dalam rangka kebermanfaatan diri. Syukur-syukur dunia bisa "mengikuti".

Dan memang, tidak hanya dari sudut pandang Islam, bangun pagi juga tentu memberikan banyak manfaat bagi orang-orang di luar Islam (baca: seluruh manusia). Buktinya, ada banyak tulisan yang membahasnya, dengan berbagai benefit. Salah satunya buku "The 5 AM Club" ditulis oleh Robin Sharma. Yang kalau dirangkum, menurut hemat saya akan balik seperti paragraf sebelumnya: "Dua rakaat sebelum Subuh itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya." (Hadist Rasulullah yang diriwatkan oleh Imam Muslim). Jadi apakah kita termasuk anggota klub subuh, guna memenuhi panggilan-Nya, menjemput kemenangan, dan menaklukkan tidur kita?

Hayya 'alashshalaah
Hayya 'alashshalaah

Hayya 'alalfalaah
Hayya 'alalfalaah

Ash-shalaatu khairum minan-nauum
Ash-shalaatu khairum minan-nauum

Memiliki rutinitas tidaklah buruk. Di masa lalu, saya sempat mengamini kalimat ini: rutinitas akan membunuh kreativitas. Apa yang telah saya rasakan sendiri setelah mendapatkan pekerjaan kantor, saya tak bisa membuat karya lagi (contohnya pixel art, puisi, atau tulisan yang seperti Anda baca ini). Seakan-akan kreativitas adalah segalanya. Menciptakan karya berarti hal hebat. Jika tidak, maka saya tak melakukan apa pun. Rutinitas menjadi kambing hitam. 

Kelihatannya memang saya-lah yang selama ini telah salah memaknai rutinitas. Sebab, rutinitas sepatutnya membuat kita lebih produktif, alih-alih sebaliknya.

Kendra Adachi, dalam bukunya, Lazy Genius Ways, memberikan tips untuk bisa hidup lebih bahagia dan tidak stres. Dia mengungkapkan 13 cara yang dapat kita lakukan untuk menjadi pribadi lebih produktif. Genius di dalam hal-hal yang penting bagi kita. Dan tidak untuk selainnya, apalagi sampai menyibukkan diri untuk itu. Satu cara yang berelasi dengan esai ini ialah menciptakan rutinitas yang tepat.

Kendra menuliskan bahwa rutinitas adalah sebuah akses yang membantu kita menyiapkan diri menghadapi apa yang akan dilakukan. Dengan membangun rutinitas dimulai dari hal kecil, kerjakan satu hal yang memiliki dampak besar, dan jangan pernah melupakan apa tujuan kita. Kita buat rutinitas untuk tugas apa pun dan kapan pun waktunya, dimulai dengan hal yang penting bagi kita.

Sejalan dengan itu, salat lima waktu merupakan penjaga rutinitas yang tidak akan menyia-nyiakan. Kita bisa memanfaatkan jeda waktu menunggu salat dengan banyak kegiatan, termasuk pekerjaan profesional. Dari satu waktu salat dan ke waktu salat berikutnya, dari azan satu ke azan selanjutnya, semua kemungkinan dapat dilakukan.

Intinya, memasukkan salat lima waktu di dalam rutinitas adalah keputusan yang tepat. Hatta itulah alasan Allah Maha Baik mewajibkannya.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Laa ilaaha illallaah

Azan akan selalu diperdengarkan mengelilingi Bumi. Bayangkan saja, para muazin dari berbagai daerah dari timur ke barat, secara berurutan akan mengumandangkan azan. Sebab waktu azan di setiap daerah itu berbeda-beda, mengikuti pergerakan cahaya matahari. 

Subuh, mulai fajar tampak di ufuk timur. Zuhur, saat matahari mulai condong ke barat. Asar, jika bayangan benda melebihi ukuran panjang bendanya sendiri. Magrib, ketika matahari terbenam. Dan Isya dimulai pas mega merah menghilang. Maka tak ayal, benarlah cerita kalau terdapat seorang tuna netra menggunakan azan sebagai penentu waktu. Seorang lansia memanfaatkan azan untuk mengetahui jam-jam.

Akhirnya, ini adalah pengingat bagi saya pribadi, azan perlu di-internalisasi ke dalam diri. Sebagai sebuah panggilan-Nya yang selalu kita tunggu-tunggu. Hati yang terpaut dengan salat, dan masjid. Sehingga, lika-liku, laku-tanduk, rutinitas kehidupan kita berada di dalam kekuasaan Allah subhanahuwataala. Bukankah hebat jika hidup kita, peran kita sebagai kalifah dan abdi ini secara total diridoi oleh Sang Maha Pencipta?

Kitalah sang muazin yang mendengarkan dan memperdengarkan azan dari subuh hingga isya. Dari bangun tidur sampai sebelum tidur kembali. Azan yang juga telah dikenalkan ke telinga ketika kita baru lahir, azan pula yang seyogianya mengantarkan kita masuk ke dalam liang lahat. Kalimat takbir-tahlil-syahadat yang meneguhkan kedudukan kita, sebagai hamba di hadapan-Nya.

0 comments:

Posting Komentar