Sabtu, 31 Mei 2025

Filosofi Teras Masjid

Setiap zaman menawarkan tantangannya tersendiri bagi manusia. Ada kalanya manusia harus bertahan hidup dengan berburu dan melawan hewan-hewan liar. Ada waktunya manusia perlu memutar otak, berinovasi dalam hal penulisan, guna mencatat hasil pertanian. Ada saatnya manusia wajib menyesuaikan diri dengan revolusi industri. Dan sekarang masanya, kita, sebagai manusia modern kudu mengendalikan "musuh" baru yang disebut keterbukaan informasi.

Masa ketika informasi apa pun dapat kita peroleh dengan mudah dan cepat. Informasi yang bisa jadi sangat penting bagi kita, tetapi juga amat mungkin sama sekali tak kita butuhkan. Informasi dengan bobot, dari yang berat sampai yang receh, konten-konten yang menghabiskan waktu senggang kita. Konten-konten yang menemani sarapan, makan siang, makan malam kita.

Apakah itu semua buruk? Apakah itu semua baik?

Untuk banyak orang, keterbukaan informasi dan banjir konten mampu membuka beragam potensi dan kesempatan. Ada yang bisa menghasilkan uang darinya, ada yang dapat meneguk ilmu darinya, ada yang termotivasi olehnya, ada yang mencoba hal baru, hobi baru, kegiatan baru. Melimpah sekali!

Namun, ada juga aneka mudarat yang ditemui. Sudah pusing dengan masalah pekerjaan, kuliah, sekolah, bermasyarakat, berkeluarga, kita malah menambah beban pikiran mengurusi segala apa yang ada di internet. Gosip-gosip tidak perlu di media sosial. Penuh sesak informasi yang akhirnya melahirkan virus bernama "kecemasan".

Instagram, X, Facebook, WhatsApp, atau apa pun namanya, tempat kita (berniat) melarikan diri dari realita, malah menghadapkan kepada banyak kenyataan yang lebih parah.

Rasa cemas itu, kekhawatiran, iri dengki, cemburu, overthinking, dan lain-lain, daftar gangguan mental dan perasaan yang diakibatkan terlalu banyak berselancar di media sosial. Apakah akan terus menerus kita biarkan terjadi? Sungguh?

Adakah cara untuk benar-benar melarikan diri "darinya"? Adakah sarana yang memberikan penyembuhan, sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan Semesta Alam?

Di dalam derasnya arus informasi, kala problematika yang kian hari kian menumpuk, mungkin yang kita butuhkan saat ini hanyalah jeda, sebuah istirahat sederhana. Sesederhana melamun dan menikmati hembusan angin segar di teras masjid yang ubinnya dingin.

###

Terkait "teras masjid", masih segar dalam ingatan, momen ketika saya dan teman-teman duduk-duduk di teras masjid SMA. Sudah menjadi agenda rutin kami di saat jam istirahat dan sepulang sekolah. Kegiatan yang diisi dengan berbagai obrolan sebagai bentuk eksistensi dan ber-filosofi. 

Contohnya: anak-anak kerohanian Islam (rohis) memperdebatkan kapan waktu idul adha; siswa jurusan IPA menggunjing guru-guru matematika killer beserta rating-nya; sedangkan siswa dari jurusan IPS penghobi sepak bola membahas klasemen liga inggris. Semuanya diperbincangkan di serambi masjid dengan antusiasnya masing-masing. Pertukaran informasi yang sudah begitu deras.

Bagi Anda yang muslim, apakah pernah merasakan pengalaman serupa? Bagaimana rasanya? Dari hal kecil itu, pelajaran apa saja yang didapatkan sebagai bekal hidup?

Kedamaian yang didapatkan saat duduk santai dengan kesejukan teras masjid, apakah bisa kau panggil kembali (sebagai anchoring--dalam konteks NLP [Neuro-Linguistic Programming] mengacu pada pengasosiasian suatu stimulus terhadap pengalaman/ingatan)?

Perasaan penuh dengan keimanan karena berada di rumah Allah ta'ala, apakah masih sering menghinggapi diri?

Mari temani saya untuk membahasnya.

Sedangkan bagi Anda yang tidak pernah mengalami hal tersebut, tidak apa-apa, tulisan ini tetap bisa Anda baca sebagai bacaan yang penuh dengan hikmah dan perenungan. Lagipula, filosofi teras masjid yang tertulis di sini tidak melulu menyoal, secara literal, "teras masjid". Lebih kepada bagaimana "filosofi teras masjid", yang akan saya bahas, sebagai opsi dan pilihan solusi yang ditawarkan, sama halnya seperti saat kita memilih filosofi teras (stoikisme). Juga sebagai salah satu cara menyelesaikan permasalahan yang diangkat di awal tulisan. Untuk mengatasi kegelisahan yang terjadi di era modern ini.

###

Sebelum membahasnya, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang tertulis pada esai ini merupakan pengalaman pribadi dan hikmah yang diharapkan dapat menjadi manfaat bagi Rekan-rekan semua. Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, kan? Dan setiap dari kita harus mampu beradaptasi menghadapinya. Iya, anggap saja ini salah satu cara saya untuk menyelesaikan permasalahan was-was yang juga saya temui. Yaitu dengan menulis.

Ide dari tulisan ini menyembul secara spontan gara-gara momen menunggu sepiring ketoprak selesai dibuat oleh seorang abang di trotoar. Ketika dua orang yang juga menunggu, berbicara dengan seru sambil terus menerus menambahkan kata (maaf) "jancok" dengan logat ngapak-nya di akhir kalimat. Bukannya risih, tetapi saya merasa terganggu sebab momen menunggu ketoprak biasanya saya gunakan untuk membaca e-book.

Karena kita hanya bisa mengendalikan apa yang bisa dikontrol, salah satunya respon kita terhadap suatu kejadian, maka alih-alih dongkol, saya memilih untuk: menutup aplikasi PlayBook dan membuka aplikasi Quran Online. Membaca Al-Qur.'an di samping gerobak ketoprak dan di antara para pembeli, merupakan keputusan yang tepat. Saya merasakan ketenangan.

Setelah itu, di perjalanan menuju rumah indekos, munculah ide menulis "Filosofi Teras Masjid". Ya, ya, mungkin saya terinspirasi oleh terma "filosofi teras" atau stoikisme, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya.

Filosofi teras masjid, akan banyak menawarkan gagasan guna menyelesaikan permasalahan diri yang sederhana sampai berat, terkhusus terkait mental dan pikiran, melalui pendekatan islami. Di tengah tingginya minat anak muda dalam hal filosofi, yang bertujuan menemukan hakikat hidup dan kebijaksanaan. Sebagai seorang muslim saya tertantang untuk membahasnya.

Apakah filosofi atau filsafat itu berbeda dengan agama? Dalam beberapa hal keduanya sama, tetapi dalam hal yang lain memiliki perbedaan. Filsafat barat yang mengutamakan metode dan kerangka berpikir ketat, yang mengeluarkan hasil yang bisa jadi tidak akan cocok dengan agama Islam. Kebebasan tanpa batas dirasa tidak senafas dengan definisi sikap pasrah atau berserah diri kepada Tuhan ala Islam.

Filosofi timur yang lebih mengedepankan hasil, capaian dari berpikir yaitu kebijaksanaan, mungkin saja akan sejalan dengan Islam. Pembahasan terkait ini mungkin akan kita bahas di lain waktu. Cukuplah dari 2 paragraf ini, kita bisa menyimpulkan bahwa filosofi itu hakikatnya bersifat netral. Kita bisa menggunakan semangat ber-filosofi guna menemukan banyak kearifan dalam hidup.

Jenis filosofi yang sedang tren pula di kalangan anak muda ialah filosofi teras atau stoikisme. Sebuah paham filsafat yang menekankan pentingnya ketenangan dan ketahanan batin diri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Anak muda tentu saja langsung klop dengan stoikisme. Buku-buku yang membahasnya laris terjual.

Stoikisme "terbukti" banyak memberikan manfaat bagi semua kalangan karena sifatnya yang mudah dipahami dan praktis. Terlebih dengan tantangan modernisasi keterbukaan informasi ini. Praktik dan laku stoikisme dapat diimplementasikan saat berbagai persoalan mutakhir muncul. Seperti yang dibahas di awal, bahwa kecemasan, overthinking, iri dengki, adalah produk dari liarnya pikiran dan keikutsertaan kita. Bukankah lebih baik kita bisa lebih bijak menyikapi semuanya?

Maka itulah filosofi teras menyediakan solusi. Sebutlah seperti dikotomi kontrol, hidup sesuai alam, dan amor fati. Apa yang tidak bisa kita kontrol, baiknya tidak perlu terlalu kita ambil pusing. Sebisa mungkin kita mengalir sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Dan apabila suratan takdir sudah terjadi, baiknya kita syukuri dan nikmati. 

Semuanya itu kan fitrah manusia? Dan tidak ada yang baru, jika kita renungi. Sehingga stoikisme hanyalah sebuah teori untuk membantu kita dalam mengingat siapa diri kita sesungguhnya.

Lalu, apa hubungannya dengan teras masjid? Baik. Jadinya, apakah Anda termasuk orang yang pernah merasakan bersantai di serambi masjid atau bukan? Tidak jadi soal!

###

Filosofi. Teras. Masjid.

Saya akan membuatnya mudah dipahami. Analogi yang digunakan juga sederhana. 

Ada ribuan, bahkan mungkin jutaan masjid yang ada di negeri ini. Kita patut bersyukur akan hal tersebut. Semua masjid itu memiliki kesamaan. Selain adanya tempat untuk imam, ruang utama salat berjamaah, dan tempat wudu; semuanya pasti mempunyai satu daerah, yang menjadi "penyambut" setiap orang yang datang. Yaitu teras masjid.

Seperti sudah menjadi kesepakatan bersama, atau jangan-jangan kebutuhan, setelah lelah di perjalanan, para musafir akan mencari masjid. Para siswa yang penat dengan pelajaran berbondong-bondong ke masjid. Para pekerja dengan tugas-tugas yang selesai dikerjakan juga tak kalah rutin ke masjid. Dengan mendatanginya, sesederhana untuk melepas lelah. Duduk-duduk di bawah naungan atap masjid, di atas ubin dingin, tertabrak lembut oleh angin semilir. Kegiatan favorit sembari menunggu waktu salat tiba.

Tentu saja apa pun bisa dilakukan di teras masjid. Berbincang seperti yang saya lakukan bersama teman-teman SMA, membicarakan berbagai hal (syukur-syukur hal yang baik), berzikir, semua kegiatan mubah, untuk mengisi detak-detik sampai sang muazin melafalkan azan.

Teras masjid yang "berfungsi" sebagai tempat pertama kali menyambut para jamaah. Tempat yang menyejukkan. Tempat yang melegakan pikiran. Tapi, apa yang benar-benar membuatnya demikian?

Jawabannya tidak lain adalah keimanan. Iya, keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Dengan filosofi teras masjid, saya mengajak kepada diri saya sendiri, yang alpa, yang papa, yang daif, yang fakir ini, juga kepada Rekan-rekan semua, untuk selalu memperbarui keimanan, dan ketakwaan. Semua rutinitas, yang menyebabkan kepala penuh dan stres; semua hubungan manusia, yang melelahkan dan diliputi prasangka buruk; semua permasalahan yang dianggap berat, hingga keluh kesah yang selalu muncul; untuk diserahkan urusannya kepada Al-Muhaimin, Allah yang Maha Mengatur.

Bagaimana caranya? Dengan rajin mengunjungi (teras) masjid, dan memasukinya. Memasuki rumah Allah. Memasuki kehendak Allah ta'ala.

Di awal tulisan ini, kita telah menguraikan bahwa setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Di era ketika teknologi sudah amat sangat canggih, di mana kecerdasan buatan sudah menjadi perkakas sehari-hari, sudah seharusnya kita senantiasa kembali kepada-Nya. Mengingati bahwa kita ini hanyalah seorang hamba, abdi.

Berbagai kesibukan yang membutakan kita dan nafsu dunia yang melelahkan, baiknya kita tinggalkan sejenak untuk "mendatangi teras masjid", yang menyejukkan tersebut. Kita isi ulang daya keimanan dan ketakwaan kita.

Mengalami was-was dan cemas: ambil wudu, baca Al-Qur'an.

Merasakan dada sempit: bersujudlah!

Merasa tak bermanfaat: ingatlah kematian, dan syukuri keimanan kita.

Memiliki banyak ambisi: sedekah. Tunaikan zakat.

Nafsu memuncaki diri: gunakan puasa sebagai perisai.

Allah yang Maha Baik tidak mungkin mewajibkan segala sesuatu tanpa adanya manfaat bagi manusia. Sebab, Dialah Maha Pencipta, yang mengetahui secara persis apa yang dibutuhkan oleh makhluk selemah kita. Dia juga yang menjadikan kita khalifah di bumi, Dia pula yang menyediakan solusi atas segala permasalahan kita. Hubungan dengan-Nya harus terus menerus kita jaga dan tingkatkan kualitasnya.

Pembuatan istilah "filosofi teras masjid" bukan untuk mengada-adakan hal baru, tetapi hanya sekadar cara untuk bisa memudahkan saya dan kita (umumnya) agar bisa selalu menautkan hati ke masjid. Menjadikan azan dan salat dan ibadah lainnya sebagai jeda dari rutinitas yang mungkin melalaikan kita.

Islam berarti kepasrahan dan pengabdian total kepada Allah subhanahu wa ta'ala, Rabb semesta alam. Seberapa besar pun masalah kita, masih ada Allah yang Maha Besar. Jika bukan Dia yang menolong kita, kepada siapa lagi diri akan memohon bantuan? Jika solusi akan permasalahan kita sehari-hari sudah ada di Islam, masihkah kita mencarinya di luar agama sempurna ini?

Jumat, 30 Mei 2025

Integritas Sebagai Penjaga

 


Setelah selesai mengerjakan soal-soal ujian nasional (UN) SMA, dengan rasa syukur yang memenuhi dada, saya berjalan menuju masjid sekolah. Meninggalkan berbagai opini dan anggapan teman-teman sekelas, teman-teman seangkatan yang lain. Toh, mereka juga tidak akan memedulikan opini dan anggapan saya tentang pelaksanaan UN, tentang pilihan mereka dalam mempersiapkannya.

Sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan UN di masa lalu dipenuhi dengan berbagai praktik (ekses) tak patut. Salah satunya, jual beli kunci jawaban. Kegiatan yang sepertinya diketahui oleh semua orang kalau perbuatan itu tercela, tidak jujur, tetapi tidak bisa dihindari. Memang tak mudah menghindarinya. Mayoritas teman SMA memilih sedikit berlaku curang, guna bisa berbahagia di waktu kelulusan. Lagi pula, kegiatan sontek-menyontek selama ujian dianggap hal yang lumrah, biasa terjadi di dalam dunia pendidikan (bagi sebagian dari mereka, kita).

Pertanyaanya, mengapa saya berbeda? Mengapa saya memilih untuk tidak membeli kunci jawaban, dan tetap teguh tidak berbagi dan saling bertukar jawaban selama ujian berlangsung? Sebuah keputusan yang sudah saya tetapkan sejak awal masuk SMA. Yaitu tidak akan berlaku curang di semua ujian, baik evaluasi bulanan, yang bersifat insidental, maupun semesteran, tengah & akhir semester. Sebisa mungkin semuanya.

Mungkin saja hal itu disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa di antaranya akan saya bahas pada esai ini. Sebagai hikmah dan iling-ilingan yang sepertinya sangat saya butuhkan saat ini. 

Pertama, di kelas 3 SMP, praktik jual beli kunci jawaban pun telah ada. Beberapa teman SMP saya, yang memiliki akses ke penjualnya, "memanfaatkan kesempatan" tersebut. Dengan pikiran yang masih polos, dengan bangganya saya ikut membahas jawaban-jawaban yang dibagikan oleh teman-teman tersebut. Nomor satu jawabannya 'A', nomor dua 'B', dan seterusnya. Begitulah obrolan kami. 

Setelah kegiatan UN SMP selesai, saya merasakan ketidaknyamanan di dalam dada. Apa yang akhirnya saya simpulkan, sesuai dengan hadis nabi, dosa akan menyebabkan hati gelisah. Perasaan tidak puas dan penyesalan. Juga perenungan tentang dampak dari ketidakjujuran tersebut di masa depan. Apakah setelah itu, semua tindak-tanduk masih dapat berkah? Ataukah, lantaran kelulusan yang dicederai kebohongan, setiap perbuatan akan jauh dari rido-Nya?

Hatta saya putuskan bertindak jujur selama ulangan, ujian yang menentukan hasil selanjutnya. Sebab, sesuai dengan tujuannya, apabila kita berhasil lulus, berarti kita memang telah layak naik level, bukan?

 Kedua, memilih kerohanian Islam (rohis) sebagai kegiatan ekstrakurikuler selama SMA. Sepertinya memang berkelindan, keputusan untuk menjadi lebih baik dan menjadikan rohis kesibukan saat putih abu-abu. Ya, seperti kita ketahui, rohis identik tentang hal-hal yang bersifat "terpuji". Ber-amar makruf nahi mungkar. Dakwah Islam. Saling menasihati dalam kebaikan. Sebuah ekosistem dan environment yang mendukung kejujuran ketika pelaksanaan ujian.

Sampai pada akhirnya, rekan-rekan rohis memercayakan posisi ketua umum kepada saya. Sebuah amanah yang teramat berat untuk dipegang. Khususnya dalam hal keteladanan. Bagaimana saya, sebisa mungkin bisa menjaga muruah rohis, dan ujian itu muncul ketika memasuki semester 2 kelas 3 SMA. Teman-teman kelas mulai membahas kunci jawaban UN.

Dan saya berlepas diri dari mereka. Walaupun, harap dicatat, saya tidak pernah merasa lebih baik dari mereka, apalagi lebih alim, lebih bersih, lebih suci. Hanya ingin memenuhi komitmen yang sudah dibuat.

Ketiga, sebagai pemacu diri, yaitu cerita yang pernah disampaikan oleh Bapak. Sebuah cerita yang menelurkan perasaan bangga kepada beliau. Kisah yang membangkitkan rasa syukur karena kejujuran itu telah diwariskannya.

Kurang lebih begini ceritanya: sewaktu Bapak kelas 6 SD, saat akan masuk ke jenjang SMP, ketika beliau akan menghadapi ujian masuk salah satu sekolah negeri. Beliau diberitahu oleh ayahnya (Kakek saya), jika beliau tidak perlu repot-repot mengerjakan soal ujian, sebab Kakek sudah menyiapkan segala sesuatunya. Maksudnya, Kakek saya yang terbilang keluarga berpunya itu telah berkolusi dengan pihak sekolah untuk meloloskan Bapak. Tindakan tersebut tidak lain supaya semua anak Kakek bisa bersekolah dengan layak.

Namun, tentu saja pikiran Bapak berbeda. Beliau jelas menentang rencana itu. Lebih baik bersekolah di sekolah swasta daripada negeri tetapi dengan ketidakjujuran. Sehingga ia mengacau saat pelaksanaan tes masuk SMP. Dan hasilnya memang tidak jauh dari ekspektasi, beliau tidak lolos, menyebabkan (mau tidak mau) harus meneruskan di salah satu sekolah swasta. 

Kejadian tersebut akhirnya menjadi pelajaran bagi Bapak dan Kakek, ketika kelas 3 SMP dan mengikuti ujian masuk SMK, Bapak berjanji akan mengerjakan soal dengan sebaik-baiknya. Ia yakin mampu lolos tanpa "bantuan" Kakek. Dan benar saja, sebuah hadiah raket tenis didapatkannya karena telah berhasil diterima di sebuah SMK Negeri dengan jujur.

Sewaktu mendengarkan ceritanya, saya hampir meneteskan air mata bangga. Kisahnya diceritakan pas kelas 3 SMA, setelah saya selama 2,5 tahun memilih "kejujuran". Inspirasi yang masih terkenang hingga sekarang.

Begitulah, orang tua sangat berperan dalam membentuk karakter seseorang. Bagi saya, tak hanya Bapak, Ibuk juga memiliki andil besar. Melalui keteladanan dan penanaman nilai-nilai Islam, tumbuhlah saya yang seperti sekarang. Doa terbaik untuk mereka berdua.

Kembali ke cerita awal esai ini. Apakah dengan kejujuran yang saya gigit dengan gigi geraham setengah mati itu, mengantarkan kepada kebahagiaan? Apakah saya lulus SMA sesuai dengan harapan?

Selepas pengumuman UN dan kelulusan SMA dan hasil SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) jalur undangan, setelah saya mengetahui bahwa: dinyatakan lulus SMA, nilai UN begitu pas-pasan, dan tidak diterima di kampus; saya menangis.

Air mata kekecewaan tidak tertahankan.

Apakah peribahasa wong jujur ajur--orang yang jujur akan hancur, itu benar?

Apakah pilihan saya untuk mengerjakan 100% soal UN secara mandiri itu sia-sia?

Apakah level saya memang hanya "sebatas" ini? Seorang siswa yang selama 3 tahun (6 semester) selalu mendapatkan ranking 1 di kelas, menjadi juara kelas, untuk tidak masuk ke daftar 10 besar nilai UN tertinggi di akhir SMA?

Air mata kekecewaan itu memang tidak bisa dibendung, tapi apakah saya menyerah?

Tidak!

Sore itu, saya menghubungi salah satu teman dan mengajaknya ke toko buku, untuk membeli buku-buku persiapan seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Saya bertekad akan masuk ke kampus negeri, dengan tetap menjaga kejujuran. Bukankah memang ujian sesungguhnya baru saja dimulai? Semua siswa mungkin bisa lolos UN, tetapi tidak semuanya akan berhasil masuk ke jenjang selanjutnya. Ada banyak pilihan tes masuk perguruan tinggi, begitu pula ada banyak yang tidak lolos.

Singkat cerita, saya diterima di salah satu politeknik negeri di kota kecil saya. Menjadi mahasiwa. Menyandang predikat sebagai seorang agen perubahan. Sebuah tapakan pertama menuju berbagai capaian di dalam hidup. Sebuah awalan dari banyak pengalaman yang saya tanam-panen hikmahnya. Sebuah langkah pertama, untuk berlari, mencapai berkilo-kilometer jalan panjang.

Dan tanpa ada penyesalan sedikit pun.

Apakah semua prestasi itu didapatkan masih dengan kejujuran? Tentu saja, semoga!

Bahkan jauh sebelum mengenal satu kata, sebagai pemandu dan penjaga, nilai itu sudah terinternalisasi di dalam diri.

Kata itu adalah: integritas!

Integritas itu berarti jujur dalam hal moral, kebaikan; utuh; mengatakan apa yang dilakukan, melakukan apa yang dikatakan. Baca esai lainnya bertema integritas: Integrasi Akal Sehat. 

Saya merasakan kecocokan dengan kata ini, pas saat pertama kali menemukan hakikat maknanya. Mungkin saja karena selama tumbuh, selama pencarian jati diri, kejujuran-lah yang menjadi pelita. Sebuah penerang untuk melewati jalan remang, lebih-lebih gelap.

Kejujuran adalah pintu masuk ke dalam sebuah integritas. Integritas, saya yakin, merupakan salah satu kunci kebijaksanaan. Sebuah tujuan & cita-cita tertinggi yang ingin diraih. Sebab saya meyakini, surga dan pertemuan dengan-Nya nantinya akan dipenuhi dengan kebijaksanaan.

Maka, melalui tulisan ini, saya berdoa supaya integritas selalu menjadi penjaga. Penjaga diri dengan pekerjaan yang sekarang, di tengah-tengah kondisi negeri yang seperti ini, di waktu-waktu mendekati akhir zaman. Semoga dengan integritas, memastikan setiap langkah kita berada di jalan yang benar, meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Semoga! Lahaula wala quwwata illa billah hil aliyil adzim.

---

Catatan akhir:

Setelah lebih dari 10 tahun menyimpan kenangan tentang jual beli kunci jawaban UN, akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentangnya. Semata-mata saya ingin mengulas hikmah yang didapatkan dari momen itu hingga hari ini. Saya yakin, teman-teman SMA saya yang dulu membeli kunci jawaban UN, tidak ada maksud lain selain untuk membahagiakan kedua orang tua dengan lulus SMA. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Tetapi tidak akan pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan. Semua yang dulunya berbuat curang, bisa jadi sekarang menjadi orang yang sangat istiqomah menjalankan kebaikan-kebaikan, berbuat banyak manfaat bagi orang lain.

Sabtu, 24 Mei 2025

Sang Muazin

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar

Asyhadu allaa illaaha illallaah
Asyhadu allaa illaaha illallaah

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah

Lantunan azan subuh menggema, sang muazin membacakannya dengan merdu. Kumandangnya membangunkan Jakarta. Pasar Mencos telah riuh oleh ibu-ibu penjual sayur. Seorang pekerja kantoran sudah harus berangkat ke ibu kota dari rumahnya di Cileungsi. PPSU atau pasukan oranye bersiap-siap memenuhi tugasnya. Jutaan harapan kembali memenuhi udara. Pagi selalu membawa rasa magis. Ketika kau berjalan dengan air wudu yang masih membasahi muka, angin segar di waktu subuh akan menerka wajahmu, sebuah pengalaman yang sungguh tidak akan dapat digantikan oleh apa pun.

Rutinitas pagi dimulai dengan salat subuh. Bahkan bagi orang-orang yang beruntung, dengan salat 2 rakaat sebelum (qobliyah) subuh, seakan bisa mendapatkan dunia beserta segala isinya. Kalau kita mentadaburi hadis Rasulullah berkaitan dengan hal tersebut, bisa jadi tambahan 1-2 jam di pagi menambah keberkahan hidup kita. Kita mempunyai waktu lebih untuk menyiapkan aktivitas kita di hari itu. Memiliki ekstra menit, detak-detik dalam rangka kebermanfaatan diri. Syukur-syukur dunia bisa "mengikuti".

Dan memang, tidak hanya dari sudut pandang Islam, bangun pagi juga tentu memberikan banyak manfaat bagi orang-orang di luar Islam (baca: seluruh manusia). Buktinya, ada banyak tulisan yang membahasnya, dengan berbagai benefit. Salah satunya buku "The 5 AM Club" ditulis oleh Robin Sharma. Yang kalau dirangkum, menurut hemat saya akan balik seperti paragraf sebelumnya: "Dua rakaat sebelum Subuh itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya." (Hadist Rasulullah yang diriwatkan oleh Imam Muslim). Jadi apakah kita termasuk anggota klub subuh, guna memenuhi panggilan-Nya, menjemput kemenangan, dan menaklukkan tidur kita?

Hayya 'alashshalaah
Hayya 'alashshalaah

Hayya 'alalfalaah
Hayya 'alalfalaah

Ash-shalaatu khairum minan-nauum
Ash-shalaatu khairum minan-nauum

Memiliki rutinitas tidaklah buruk. Di masa lalu, saya sempat mengamini kalimat ini: rutinitas akan membunuh kreativitas. Apa yang telah saya rasakan sendiri setelah mendapatkan pekerjaan kantor, saya tak bisa membuat karya lagi (contohnya pixel art, puisi, atau tulisan yang seperti Anda baca ini). Seakan-akan kreativitas adalah segalanya. Menciptakan karya berarti hal hebat. Jika tidak, maka saya tak melakukan apa pun. Rutinitas menjadi kambing hitam. 

Kelihatannya memang saya-lah yang selama ini telah salah memaknai rutinitas. Sebab, rutinitas sepatutnya membuat kita lebih produktif, alih-alih sebaliknya.

Kendra Adachi, dalam bukunya, Lazy Genius Ways, memberikan tips untuk bisa hidup lebih bahagia dan tidak stres. Dia mengungkapkan 13 cara yang dapat kita lakukan untuk menjadi pribadi lebih produktif. Genius di dalam hal-hal yang penting bagi kita. Dan tidak untuk selainnya, apalagi sampai menyibukkan diri untuk itu. Satu cara yang berelasi dengan esai ini ialah menciptakan rutinitas yang tepat.

Kendra menuliskan bahwa rutinitas adalah sebuah akses yang membantu kita menyiapkan diri menghadapi apa yang akan dilakukan. Dengan membangun rutinitas dimulai dari hal kecil, kerjakan satu hal yang memiliki dampak besar, dan jangan pernah melupakan apa tujuan kita. Kita buat rutinitas untuk tugas apa pun dan kapan pun waktunya, dimulai dengan hal yang penting bagi kita.

Sejalan dengan itu, salat lima waktu merupakan penjaga rutinitas yang tidak akan menyia-nyiakan. Kita bisa memanfaatkan jeda waktu menunggu salat dengan banyak kegiatan, termasuk pekerjaan profesional. Dari satu waktu salat dan ke waktu salat berikutnya, dari azan satu ke azan selanjutnya, semua kemungkinan dapat dilakukan.

Intinya, memasukkan salat lima waktu di dalam rutinitas adalah keputusan yang tepat. Hatta itulah alasan Allah Maha Baik mewajibkannya.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Laa ilaaha illallaah

Azan akan selalu diperdengarkan mengelilingi Bumi. Bayangkan saja, para muazin dari berbagai daerah dari timur ke barat, secara berurutan akan mengumandangkan azan. Sebab waktu azan di setiap daerah itu berbeda-beda, mengikuti pergerakan cahaya matahari. 

Subuh, mulai fajar tampak di ufuk timur. Zuhur, saat matahari mulai condong ke barat. Asar, jika bayangan benda melebihi ukuran panjang bendanya sendiri. Magrib, ketika matahari terbenam. Dan Isya dimulai pas mega merah menghilang. Maka tak ayal, benarlah cerita kalau terdapat seorang tuna netra menggunakan azan sebagai penentu waktu. Seorang lansia memanfaatkan azan untuk mengetahui jam-jam.

Akhirnya, ini adalah pengingat bagi saya pribadi, azan perlu di-internalisasi ke dalam diri. Sebagai sebuah panggilan-Nya yang selalu kita tunggu-tunggu. Hati yang terpaut dengan salat, dan masjid. Sehingga, lika-liku, laku-tanduk, rutinitas kehidupan kita berada di dalam kekuasaan Allah subhanahuwataala. Bukankah hebat jika hidup kita, peran kita sebagai kalifah dan abdi ini secara total diridoi oleh Sang Maha Pencipta?

Kitalah sang muazin yang mendengarkan dan memperdengarkan azan dari subuh hingga isya. Dari bangun tidur sampai sebelum tidur kembali. Azan yang juga telah dikenalkan ke telinga ketika kita baru lahir, azan pula yang seyogianya mengantarkan kita masuk ke dalam liang lahat. Kalimat takbir-tahlil-syahadat yang meneguhkan kedudukan kita, sebagai hamba di hadapan-Nya.