Setiap zaman menawarkan tantangannya tersendiri bagi manusia. Ada kalanya manusia harus bertahan hidup dengan berburu dan melawan hewan-hewan liar. Ada waktunya manusia perlu memutar otak, berinovasi dalam hal penulisan, guna mencatat hasil pertanian. Ada saatnya manusia wajib menyesuaikan diri dengan revolusi industri. Dan sekarang masanya, kita, sebagai manusia modern kudu mengendalikan "musuh" baru yang disebut keterbukaan informasi.
Masa ketika informasi apa pun dapat kita peroleh dengan mudah dan cepat. Informasi yang bisa jadi sangat penting bagi kita, tetapi juga amat mungkin sama sekali tak kita butuhkan. Informasi dengan bobot, dari yang berat sampai yang receh, konten-konten yang menghabiskan waktu senggang kita. Konten-konten yang menemani sarapan, makan siang, makan malam kita.
Apakah itu semua buruk? Apakah itu semua baik?
Untuk banyak orang, keterbukaan informasi dan banjir konten mampu membuka beragam potensi dan kesempatan. Ada yang bisa menghasilkan uang darinya, ada yang dapat meneguk ilmu darinya, ada yang termotivasi olehnya, ada yang mencoba hal baru, hobi baru, kegiatan baru. Melimpah sekali!
Namun, ada juga aneka mudarat yang ditemui. Sudah pusing dengan masalah pekerjaan, kuliah, sekolah, bermasyarakat, berkeluarga, kita malah menambah beban pikiran mengurusi segala apa yang ada di internet. Gosip-gosip tidak perlu di media sosial. Penuh sesak informasi yang akhirnya melahirkan virus bernama "kecemasan".
Instagram, X, Facebook, WhatsApp, atau apa pun namanya, tempat kita (berniat) melarikan diri dari realita, malah menghadapkan kepada banyak kenyataan yang lebih parah.
Rasa cemas itu, kekhawatiran, iri dengki, cemburu, overthinking, dan lain-lain, daftar gangguan mental dan perasaan yang diakibatkan terlalu banyak berselancar di media sosial. Apakah akan terus menerus kita biarkan terjadi? Sungguh?
Adakah cara untuk benar-benar melarikan diri "darinya"? Adakah sarana yang memberikan penyembuhan, sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan Semesta Alam?
Di dalam derasnya arus informasi, kala problematika yang kian hari kian menumpuk, mungkin yang kita butuhkan saat ini hanyalah jeda, sebuah istirahat sederhana. Sesederhana melamun dan menikmati hembusan angin segar di teras masjid yang ubinnya dingin.
###
Terkait "teras masjid", masih segar dalam ingatan, momen ketika saya dan teman-teman duduk-duduk di teras masjid SMA. Sudah menjadi agenda rutin kami di saat jam istirahat dan sepulang sekolah. Kegiatan yang diisi dengan berbagai obrolan sebagai bentuk eksistensi dan ber-filosofi.
Contohnya: anak-anak kerohanian Islam (rohis) memperdebatkan kapan waktu idul adha; siswa jurusan IPA menggunjing guru-guru matematika killer beserta rating-nya; sedangkan siswa dari jurusan IPS penghobi sepak bola membahas klasemen liga inggris. Semuanya diperbincangkan di serambi masjid dengan antusiasnya masing-masing. Pertukaran informasi yang sudah begitu deras.
Bagi Anda yang muslim, apakah pernah merasakan pengalaman serupa? Bagaimana rasanya? Dari hal kecil itu, pelajaran apa saja yang didapatkan sebagai bekal hidup?
Kedamaian yang didapatkan saat duduk santai dengan kesejukan teras masjid, apakah bisa kau panggil kembali (sebagai anchoring--dalam konteks NLP [Neuro-Linguistic Programming] mengacu pada pengasosiasian suatu stimulus terhadap pengalaman/ingatan)?
Perasaan penuh dengan keimanan karena berada di rumah Allah ta'ala, apakah masih sering menghinggapi diri?
Mari temani saya untuk membahasnya.
Sedangkan bagi Anda yang tidak pernah mengalami hal tersebut, tidak apa-apa, tulisan ini tetap bisa Anda baca sebagai bacaan yang penuh dengan hikmah dan perenungan. Lagipula, filosofi teras masjid yang tertulis di sini tidak melulu menyoal, secara literal, "teras masjid". Lebih kepada bagaimana "filosofi teras masjid", yang akan saya bahas, sebagai opsi dan pilihan solusi yang ditawarkan, sama halnya seperti saat kita memilih filosofi teras (stoikisme). Juga sebagai salah satu cara menyelesaikan permasalahan yang diangkat di awal tulisan. Untuk mengatasi kegelisahan yang terjadi di era modern ini.
###
Sebelum membahasnya, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang tertulis pada esai ini merupakan pengalaman pribadi dan hikmah yang diharapkan dapat menjadi manfaat bagi Rekan-rekan semua. Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, kan? Dan setiap dari kita harus mampu beradaptasi menghadapinya. Iya, anggap saja ini salah satu cara saya untuk menyelesaikan permasalahan was-was yang juga saya temui. Yaitu dengan menulis.
Ide dari tulisan ini menyembul secara spontan gara-gara momen menunggu sepiring ketoprak selesai dibuat oleh seorang abang di trotoar. Ketika dua orang yang juga menunggu, berbicara dengan seru sambil terus menerus menambahkan kata (maaf) "jancok" dengan logat ngapak-nya di akhir kalimat. Bukannya risih, tetapi saya merasa terganggu sebab momen menunggu ketoprak biasanya saya gunakan untuk membaca e-book.
Karena kita hanya bisa mengendalikan apa yang bisa dikontrol, salah satunya respon kita terhadap suatu kejadian, maka alih-alih dongkol, saya memilih untuk: menutup aplikasi PlayBook dan membuka aplikasi Quran Online. Membaca Al-Qur.'an di samping gerobak ketoprak dan di antara para pembeli, merupakan keputusan yang tepat. Saya merasakan ketenangan.
Setelah itu, di perjalanan menuju rumah indekos, munculah ide menulis "Filosofi Teras Masjid". Ya, ya, mungkin saya terinspirasi oleh terma "filosofi teras" atau stoikisme, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya.
Filosofi teras masjid, akan banyak menawarkan gagasan guna menyelesaikan permasalahan diri yang sederhana sampai berat, terkhusus terkait mental dan pikiran, melalui pendekatan islami. Di tengah tingginya minat anak muda dalam hal filosofi, yang bertujuan menemukan hakikat hidup dan kebijaksanaan. Sebagai seorang muslim saya tertantang untuk membahasnya.
Apakah filosofi atau filsafat itu berbeda dengan agama? Dalam beberapa hal keduanya sama, tetapi dalam hal yang lain memiliki perbedaan. Filsafat barat yang mengutamakan metode dan kerangka berpikir ketat, yang mengeluarkan hasil yang bisa jadi tidak akan cocok dengan agama Islam. Kebebasan tanpa batas dirasa tidak senafas dengan definisi sikap pasrah atau berserah diri kepada Tuhan ala Islam.
Filosofi timur yang lebih mengedepankan hasil, capaian dari berpikir yaitu kebijaksanaan, mungkin saja akan sejalan dengan Islam. Pembahasan terkait ini mungkin akan kita bahas di lain waktu. Cukuplah dari 2 paragraf ini, kita bisa menyimpulkan bahwa filosofi itu hakikatnya bersifat netral. Kita bisa menggunakan semangat ber-filosofi guna menemukan banyak kearifan dalam hidup.
Jenis filosofi yang sedang tren pula di kalangan anak muda ialah filosofi teras atau stoikisme. Sebuah paham filsafat yang menekankan pentingnya ketenangan dan ketahanan batin diri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Anak muda tentu saja langsung klop dengan stoikisme. Buku-buku yang membahasnya laris terjual.
Stoikisme "terbukti" banyak memberikan manfaat bagi semua kalangan karena sifatnya yang mudah dipahami dan praktis. Terlebih dengan tantangan modernisasi keterbukaan informasi ini. Praktik dan laku stoikisme dapat diimplementasikan saat berbagai persoalan mutakhir muncul. Seperti yang dibahas di awal, bahwa kecemasan, overthinking, iri dengki, adalah produk dari liarnya pikiran dan keikutsertaan kita. Bukankah lebih baik kita bisa lebih bijak menyikapi semuanya?
Maka itulah filosofi teras menyediakan solusi. Sebutlah seperti dikotomi kontrol, hidup sesuai alam, dan amor fati. Apa yang tidak bisa kita kontrol, baiknya tidak perlu terlalu kita ambil pusing. Sebisa mungkin kita mengalir sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Dan apabila suratan takdir sudah terjadi, baiknya kita syukuri dan nikmati.
Semuanya itu kan fitrah manusia? Dan tidak ada yang baru, jika kita renungi. Sehingga stoikisme hanyalah sebuah teori untuk membantu kita dalam mengingat siapa diri kita sesungguhnya.
Lalu, apa hubungannya dengan teras masjid? Baik. Jadinya, apakah Anda termasuk orang yang pernah merasakan bersantai di serambi masjid atau bukan? Tidak jadi soal!
###
Filosofi. Teras. Masjid.
Saya akan membuatnya mudah dipahami. Analogi yang digunakan juga sederhana.
Ada ribuan, bahkan mungkin jutaan masjid yang ada di negeri ini. Kita patut bersyukur akan hal tersebut. Semua masjid itu memiliki kesamaan. Selain adanya tempat untuk imam, ruang utama salat berjamaah, dan tempat wudu; semuanya pasti mempunyai satu daerah, yang menjadi "penyambut" setiap orang yang datang. Yaitu teras masjid.
Seperti sudah menjadi kesepakatan bersama, atau jangan-jangan kebutuhan, setelah lelah di perjalanan, para musafir akan mencari masjid. Para siswa yang penat dengan pelajaran berbondong-bondong ke masjid. Para pekerja dengan tugas-tugas yang selesai dikerjakan juga tak kalah rutin ke masjid. Dengan mendatanginya, sesederhana untuk melepas lelah. Duduk-duduk di bawah naungan atap masjid, di atas ubin dingin, tertabrak lembut oleh angin semilir. Kegiatan favorit sembari menunggu waktu salat tiba.
Tentu saja apa pun bisa dilakukan di teras masjid. Berbincang seperti yang saya lakukan bersama teman-teman SMA, membicarakan berbagai hal (syukur-syukur hal yang baik), berzikir, semua kegiatan mubah, untuk mengisi detak-detik sampai sang muazin melafalkan azan.
Teras masjid yang "berfungsi" sebagai tempat pertama kali menyambut para jamaah. Tempat yang menyejukkan. Tempat yang melegakan pikiran. Tapi, apa yang benar-benar membuatnya demikian?
Jawabannya tidak lain adalah keimanan. Iya, keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Dengan filosofi teras masjid, saya mengajak kepada diri saya sendiri, yang alpa, yang papa, yang daif, yang fakir ini, juga kepada Rekan-rekan semua, untuk selalu memperbarui keimanan, dan ketakwaan. Semua rutinitas, yang menyebabkan kepala penuh dan stres; semua hubungan manusia, yang melelahkan dan diliputi prasangka buruk; semua permasalahan yang dianggap berat, hingga keluh kesah yang selalu muncul; untuk diserahkan urusannya kepada Al-Muhaimin, Allah yang Maha Mengatur.
Bagaimana caranya? Dengan rajin mengunjungi (teras) masjid, dan memasukinya. Memasuki rumah Allah. Memasuki kehendak Allah ta'ala.
Di awal tulisan ini, kita telah menguraikan bahwa setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Di era ketika teknologi sudah amat sangat canggih, di mana kecerdasan buatan sudah menjadi perkakas sehari-hari, sudah seharusnya kita senantiasa kembali kepada-Nya. Mengingati bahwa kita ini hanyalah seorang hamba, abdi.
Berbagai kesibukan yang membutakan kita dan nafsu dunia yang melelahkan, baiknya kita tinggalkan sejenak untuk "mendatangi teras masjid", yang menyejukkan tersebut. Kita isi ulang daya keimanan dan ketakwaan kita.
Mengalami was-was dan cemas: ambil wudu, baca Al-Qur'an.
Merasakan dada sempit: bersujudlah!
Merasa tak bermanfaat: ingatlah kematian, dan syukuri keimanan kita.
Memiliki banyak ambisi: sedekah. Tunaikan zakat.
Nafsu memuncaki diri: gunakan puasa sebagai perisai.
Allah yang Maha Baik tidak mungkin mewajibkan segala sesuatu tanpa adanya manfaat bagi manusia. Sebab, Dialah Maha Pencipta, yang mengetahui secara persis apa yang dibutuhkan oleh makhluk selemah kita. Dia juga yang menjadikan kita khalifah di bumi, Dia pula yang menyediakan solusi atas segala permasalahan kita. Hubungan dengan-Nya harus terus menerus kita jaga dan tingkatkan kualitasnya.
Pembuatan istilah "filosofi teras masjid" bukan untuk mengada-adakan hal baru, tetapi hanya sekadar cara untuk bisa memudahkan saya dan kita (umumnya) agar bisa selalu menautkan hati ke masjid. Menjadikan azan dan salat dan ibadah lainnya sebagai jeda dari rutinitas yang mungkin melalaikan kita.
Islam berarti kepasrahan dan pengabdian total kepada Allah subhanahu wa ta'ala, Rabb semesta alam. Seberapa besar pun masalah kita, masih ada Allah yang Maha Besar. Jika bukan Dia yang menolong kita, kepada siapa lagi diri akan memohon bantuan? Jika solusi akan permasalahan kita sehari-hari sudah ada di Islam, masihkah kita mencarinya di luar agama sempurna ini?